Jumat, 12 Januari 2018

TINGKAT-TINGKAT KEBIJAKSANAAN

TINGKAT-TINGKAT KEBIJAKSANAAN
MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kebijakan Pendidikan

Dosen Pengampu : Ahmad Syaifuddin, M.Pd




Oleh:
1.    Aqim Durrotul Aimmah
2.    Siti Mustaghfiroh

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUSSALAM
NGANJUK JAWA TIMUR
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat-Nya  saya dapat menyelesaikan makalah ini.
            Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W yang diutus sebagai rahmat untuk sekalian alam dan membimbing umat ke jalan yang lurus.
            Ribuan terima kasih kami ucapkan kepada :
1.        Bapak Ahmad Syaifuddin, M.Pd  yang telah memberikan pengarahan atas terselesaikannya makalah ini.
2.        Pihak-pihak yang membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
3.        Teman-teman semester V.
Makalah  ini disusun sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Kebijakan Pendidikan. Kami menyadari tentunya makalah ini belum sempurna, oleh karenanya kami senantiasa mengharap adanya kritik dan saran guna perubahan yang lebih baik kedepannya. Kendati demikian, kami berharap makalah  ini bermanfaat bagi para pembaca. Akhir kata, permohonan maaf kami haturkan atas segala kekurangan dalam makalah ini.





Tanjunganom, 18 Agustus 2017


Penulis



DAFTAR  ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB 1          PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang ......................................................................... 1
B.       Rumusan Masalah ..................................................................... 1
C.       Tujuan Pembahasan .................................................................. 1
BAB II         PEMBAHASAN
A.      Tingkatan-tingkatan Kebijakan Secara Umum.......................... 2
B.       Tingkatan-tingkatan Kebijakan menurut Ruang Lingkupnya... 4
C.       Tingkatan-tingkatan Kebijakan menurut Sifatnya..................... 6
BAB III       PENUTUP
A.    Kesimpulan .............................................................................. 10
B.     Saran ........................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 11



 BAB  I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pembahasan  mengenai kebijakan adalah bahasan sepanjang masa karena kebijakan tetap ada dan terus ada sepanjang masih ada negara yang mengatur kehidupan bersama. Beberapa ciri dari negara yaitu merdeka atau mempunyai kedaulatan, mempunyai wilayah, rakyat dan pemerintahan. Serta pengakuan dari dunia internasional. Kehidupan bersama yang kita batasi sebagai negara secara absolut mengatur apa dan siapa yang ada didalamnya dan secara relatif mereka yang menjadi bagian dari negara tetapi tidak berada di dalam negara dan mereka yang berhubungan dengan negara tersebut. Sebuah kehidupan bersama harus diatur. Tujuannya adalah supaya satu dengan yang lainnya tidak saling merugikan. Aturan tersebut yang secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan.
Dalam penjabarannya, konsep kebijakan terdiri dari berbagai hal mulai definisi, unsur, kriteria, jenis dan lain-lain, namun dalam makalah ini akan dijabarkan mengenai jenis dan tingkat-tingkat kebijakan.

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pembagian tingkatan kebijakan secara umum?
2.      Bagaimana pembagian tingkatan kebijakan menurut cakupan ruang lingkupnya?
3.      Bagaimana pembagian tingkatan kebijakan menurut sifatnya?

C.  Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui pembagian tingkat-tingkat kebijakan secara umum.
2.      Mengetahui pembagian tingkat-tingkat kebijakan menurut cakupan ruang lingkupnya.
3.      Mengetahui pembagian tingkat-tingkat kebijakan menurut sifatnya.

BAB II
PEMBAHASAN
Istilah kebijakan publik adalah terjemahan istilah bahasa Inggris Public Policy. Kata policy ada yang menerjemahkan menjadi kebijakan, dan ada juga yang menerjemahkan menjadi kebijaksanaan. Meskipun belum ada kesepakatan apakah policy diterjemahkan menjadi kebijakan ataukah kebijaksanaan, akan tetapi tampaknya kecenderungan yang akan datang untuk policy digunakan istilah kebijakan.  Tingkatan kebijakan dapat diklasifikasikan menurut beberapa hal yaitu tingkatan kebijakan secara umum, tingkatan kebijakan menurut cakupan ruang lingkupnya, dan tingkatan kebijakan menurut sifatnya.[1]
A.  Tingkatan-tingkatan Kebijakan Secara Umum
Menurut Said Zainal Abidin, kebijakan secara umum dapat dibedakan dalam tiga tingkatan yaitu:[2]
1.    Kebijakan Umum
Kebijakan umum adalah kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk  pelaksanaan baik yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan. Suatu hal yang perlu diingat adalah pengertian umum di sini bersifat relatif. Maksudnya, untuk wilayah negara, kebijakan umum mengambil bentuk undang-undang atau keputusan presiden dan sebagainya. Sementara untuk suatu provinsi, selain dari peraturan dan kebijakan yang di ambil pada tingkat pusat juga ada keputusan gubernur atau peraturan daerah yang diputuskan oleh DPRD.
Contoh kebijakan umum pada wilayah negara adalah adanya UU Sisdiknas, kemudian kebijakan umum pada wilayah daerah atau kabupaten dapat dicontohkan dengan Peraturan Daerah Nomor. 26 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sistem Pendidikan di Kabupaten Bandung.
Agar suatu kebijakan umum dapat menjadi pedoman bagi tingkatan kebijakan di  bawahnya, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:[3]
a.    Cakupan kebijakan itu meliputi keseluruhan kawasannya. Artinya, kebijakan itu tidak hanya meliputi dan ditujukan pada aspek tertentu atau sektor tertentu. 
b.    Tidak berjangka pendek, yakni masa berlaku atau tujuan yang ingin dicapai dengan kebijakan tersebut berada dalam jangka panjang ataupun tidak mempunyai batas waktu tertentu. Karena itu tujuan yang digambarkan sebagai kebijakan sering kali dianggap orang tidak jelas, atau  samar-samar karena gambarannya yang bersifat umum. Dengan kata lain, dalam suatu kebijakan umum tidak tepat untuk menetapkan sasarannya secara sangat jelas dan rumusanya secara teknis. Rumusan yang demikian akan menghadapi kekakuan dalam perubahan waktu  jangka panjang dan akan mengalami kesulitan untuk diberlakukan dalam wilayah-wilayah kecil yang berbeda.
c.    Strategi kebijakan umum tidak bersifat operasional. Seperti halnya pada  pengertian umum, pengertian operasional atau teknis juga bersifat relatif. Sesuatu yang dianggap umum untuk tingkat kabupaten mungkin dianggap teknis atau operasional untuk tingkat provinsi dan sangat operasional dalam pandangan tingkat nasional.
2.    Kebijakan Pelaksanaan
Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Contohnya adalah untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang, atau keputusan menteri yang menjabarkan pelaksanaan keputusan presiden. Untuk tingkat provinsi, keputusan bupati atau keputusan seorang kepala dinas yang menjabarkan keputusan gubernur atau  peraturan daerah bisa jadi suatu kebijakan pelaksanaan.
Contoh kebijakan pelaksanaan  adalah  Peraturan Walikota Bandung nomor 553 tahun 2017 mengenai PPDB Kota Bandung 2017 merupakan kebijakan pelaksanaan dari Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 16 tahun 2017 tentang PPDB Provinsi Jawa Barat. [4]
3.    Kebijakan Teknis
Kebijakan teknis adalah kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan  pelaksanaan itu, biasanya ditemukan di tingkat kecamatan maupun instansi pendidikan seperti sekolah.[5] Contohnya adalah pedoman penerimaan peserta didik baru di MA Darussalam Krempyang.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum tingkatan  kebijakan terdiri dari kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis. Kebijakan umum adalah kebijakan tingkat pertama, kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan tingkat ke dua, dan kebijakan teknis adalah kebijakan tingkat ke tiga atau yang terbawah.

B.  Tingkatan-tingkatan Kebijakan menurut Cakupan Ruang Lingkupnya
Sebagaimana dikutip oleh Jamal Wawoho dari Lembaga Administrasi Negara, beberapa tingkatan kebijakan menurut lingkupnya yaitu:[6]
1.    Lingkup Nasional
Kebijakan dalam lingkup nasional terbagi menjadi tiga, yaitu:[7]
a.    Kebijakan Nasional
Kebijakan Nasional adalah adalah kebijakan negara yang bersifat fundamental dan strategis dalam pencapaian tujuan nasional atau negara. MPR, Presiden, dan DPR adalah yang berwenang menetapkan kebijakan nasional. Kebijakan nasional yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dapat berbentuk UUD, Ketetapan MPR, Undang-undang, maupun  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU). Dalam dunia pendidikan sendiri, contoh kebijakan nasional adalah UU Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS.
b.    Kebijakan Umum
Kebijakan umum adalah kebijakan Presiden sebagai pelaksanaan UUD, TAP MPR, UU, untuk mencapai tujuan nasional. Presiden berwenang menetapkan kebijakan umum. Kebijakan umum yang tertulis dapat berbentuk Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden, dan Instruksi Presiden. Contonya yaitu Perpres nomor 14 tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
c.          Kebijakan  Pelaksanaan
Kebijaksanaan pelaksanaan merupakan penjabaran dari kebijakan umum sebagai strategi pelaksanaan tugas di bidang tertentu. Dalam menetapkan kebijakan pelaksanaan, yang berwenang adalah menteri atau pejabat setingkat menteri dan pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen. Kebijakan pelaksanaan yang tertulis dapat berbentuk peraturan, keputusan, atau intruksi pejabat.
2.  Lingkup Wilayah Daerah
Kebijakan dalam lingkup daerah terbagi menjadi dua, yaitu:[8]
a.    Kebijakan Umum
Kebijakan umum di lingkup daerah adalah kebijakan pemerintah daerah sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dalam rangka mengatur urusan Rumah Tangga Daerah. Dalam menetapkan kebijakan umum di daerah provinsi, yang berwenang adalah Gubernur dan DPRD Provinsi. Di daerah Kabupaten atau Kota ditetapkan oleh Bupati atau Walikota dan DPRD Kabupaten atau Kota. Kebijakan umum di tingkat daerah dapat berbentuk Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota. Contoh kebijakan umum di tingkat provinsi adalah Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 16 tahun 2017 tentang PPDB Provinsi Jawa Barat.


b.     Kebijakan Pelaksanaan
Kebijakan pelaksanaan di lingkup Wilayah atau daerah ada tiga macam, yaitu:
1)   Kebijakan pelaksanaan dalam rangka desentralisasi merupakan realisasi pelaksanaan Peraturan Daerah. Contohnya Perda yang dikeluarkan sebagai kebijakan pelaksanaan dari Pergub.
2)   Kebijakan pelaksanaan dalam rangka dekonsentrasi merupakan pelaksanaan kebijakan nasional di Daerah. Contohnya pelaksanaan kegiatan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten dalam rangka pemanjangan tangan dari Dinas Pendidikan Provinsi.
3)   Kebijakan pelaksanaan dalam rangka tugas pembantuan (medebewind) merupakan pelaksanaan tugas Pemerintah Pusat  yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tingkatan kebijakan berdasarkan cakupan ruang lingkupnya dapat dibedakan menjadi kebijakan tingkat nasional, dan kebijakan tingkat daerah.
C.  Tingkatan-tingkatan Kebijakan menurut Sifatnya
Menurut Nanang Fattah, tingkatan kebijakan berdasarakan sifatnya dapat dibedakan menjadi tiga, antara lain :[9]
1.    Tingkat Makro
Kebijakan makro melibatkan seluruh masyarakat dan pemimpin  pemerintah umumnya dalam pembentukan kebijakan publik dalam lingkup untuk kebijakan publik. Kebijakan makro merupakan kebijakan yang dapat mempengaruhi seluruh negeri. Kebijakan makro mencakup kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh, tujuan yang ingin dicapai dan cara-cara untukmencapai tujuan itu pada tingkat nasional.
Tujuan yang harus dicapai negara (khususnya dalam bidang peningkatan SDM) adalah pengembangan sisitem pendidikan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif pendidikan harus menghasilkan tenaga kerja yang banyak sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Sedangkan secara kualitatif harus menghasilkan tenaga terampil sesuai dengan bidangnya dan memiliki jiwa Pancasila.[10]
Sementara itu, sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
a.    UUD 1945: merupakan hukum dasar tertulis, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
b.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: merupakan  putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.
c.    Undang-Undang: dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden untuk melaksanakan UUD 1945 serta TAP MPR-RI.
d.   Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
e.    Peraturan Pemerintah: dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang. Keputusan Presiden: bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan.
2.    Tingkat Meso
Kebijaksanaan yang telah ditetapkan pada tingkat makro, kemudian dijabarkan  ke dalam program-program yang berskala kecil. Pada tingkat ini perencanaan sudah lebih bersifat operasional disesuaikan dengan departemen atau unit-unit (intermediate unit). Kebijakan meso biasanya berfokus pada kebijakan tertentu atau area fungsional, seperti angkutan udara niaga, kegiatan perluasan pertanian, pembangunan dermaga dan sungai, atau pemberian hak paten. Biasanya mencakup sarana oleh swasta maupun pemerintah pada tingkat setempat. Terbentuknya kebijakan meso ini disebabkan tidak semua orang  peduli terhadap kebijakan publik yang telah ada, banyak masyarakat yang hanya tertarik pada satu bidang saja.[11]
Menurut Pidarta, “kebijakan meso adalah kebijakan yang ruang lingkupnya mencakup wilayah pendidikan tertentu, misalnya suatu propinsi dan dasar terjadinya perencanaan meso adalah akibat dari kondisi dan situasi daerah yang berbeda-beda”.
Kebijakan meso di bidang pendidikan menengah dan dasar pada umumnya diprakarsai oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di daerah bersangkutan. Sedangkan untuk perencanaan lembaga pendidikan tinggi bisa diprakarsai tiap perguruan tinggi di wilayah itu dengan mengikut sertakan semua perguruan tinggi yang ada di daerah itu.[12]
3.    Tingkat Mikro
Kebijakan mikro diartikan sebagai kebijakan  pada tingkat institusional dan merupakan penjabaran dari perencanaan tingkat meso. Kekhususan-kekhususan dari lembaga mendapat perhatian, namun tidak boleh bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan dalam perencanaan makro maupun meso. Kebijakan mikro lebih melibatkan upaya yang dilakukan oleh individu tertentu, suatu  perusahaan, atau komunitas tertentu yang hanya bertujuan untuk medapatkan keuntungan bagi pihak mereka sendiri. Kebijakan mikro yang menjadi kompetensi  pada umumnya pelaku bisnis swasta, biasanya mencakup strategi untuk peningkatan  produktivitas manajerial, pengembangan mutu Sumber Daya Manusia (SDM), dan  jejaringan kerja (networking).
Dalam suatu kebijakan mikro, pihak-pihak yang  bersangkutan dalam suatu instansi tertentu cenderung memiliki peraturan-peraturan atau undang-undang pribadi tanpa campur tangan dari pemerintah. Suatu perusahaan ingin keputusan yang menguntungkan bagi perusahaanya sendiri, bagi beberapa pihak dalam kebijakn mikro ini, tindakan dan keputusan pemerintah tidak begitu diperhatikan selama campur tangan dari pemerintah tersebut mendatangkan kerugian  bagi penganut kebijakan mikro.
Contoh kebijakan mikro adalah penerapan kebijakan dalam Fakutas Kesehatan Mayarakat tentang tatacara berpakaian yang sopan tidak ketat dan bersepatu dalam lingkup fakultas. Hal ini dikategorikan sebagai kebijakan mikro karena peraturan tersebut hanya berlaku dalam lingkup organisasi.[13]
Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tingkatan kebijakan berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi kebijakan tingkat makro, tingkat meso, dan tingkat mikro.






[1] Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Analisis Kebijakan Publik (Jakarta: LAN, 2008), 4.
[2] Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik (Jakarta: Yayasan Pancur Siwah, 2004), 31-33.
[3] Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik,32.
[4] Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik,32.
[5] Ibid., 33.
[6] jamalwiwoho.com/wp-content/uploads/2012/06/Hukum-dan-Kebijakan-Publik2.pdf diakses pada 20 Agustus 2017, pukul 19:17.
[7] Ibid
[8] jamalwiwoho.com/wp-content/uploads/2012/06/Hukum-dan-Kebijakan-Publik2.pdf diakses pada 20 Agustus 2017, pukul 19:17.
[9] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 54-61.
[10] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan,55.
[11] Ibid., 56.
[12] Made Pidarta,  Perencanaan Pendidikan Partisipatori dengan Pendekatan Sistem (Jakarta: DEPDIKBUD DIRJEN DIKTI P2LPTK, 1988), 59.
[13] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, 60.

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.    Tingkatan  kebijakan secara umum  terdiri dari kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis.
2.    Tingkatan kebijakan berdasarkan cakupan ruang lingkupnya dapat dibedakan menjadi kebijakan tingkat nasional, dan kebijakan tingkat daerah.
3.    Tingkatan kebijakan berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi kebijakan tingkat makro, tingkat meso, dan tingkat mikro.

B.  Saran
Kebijakan merupakan hal yang sangat penting dalam pemerintahan dan semua sektor di dalamnya termasuk pendidikan. dengan adanya berbagai tingkatan dalam kebijaksanaan ini, diharapkan pembaca dapat memahami kebijaksanaan secara hierarki mulai dari pusat hingga daerah, maupun dari skala makro hingga mikro. Terkait dengan tingkatan kebijakan ini juga akan berkaitan dengan jenis-jenis kebijakan yang akan dipaparkan pada makalah selanjutnya secara lebih komprehensif.



DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Said Zaenal.  2004. Kebijakan Publik. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah.
Fattah, Nanang. 2013. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
jamalwiwoho.com/wp-content/uploads/2012/06/Hukum-dan-Kebijakan-Publik2.pdf diakses pada 20 Agustus 2017, pukul 19:17.
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. 2008.  Analisis Kebijakan Publik. Jakarta: LAN.
Pidarta, Made. 1988. Perencanaan Pendidikan Partisipatori dengan Pendekatan Sistem. Jakarta: DEPDIKBUD DIRJEN DIKTI P2LPTK.

Rabu, 22 November 2017

Asuransi BPJS boleh atau tidak menurut Islam??

Asuransi merupakan salah satu kebutuhan yang kini menjadi perhatian bagi masyarakat, terutama pekerja maupun pegawai yang memperhatikan kepentingan kesehatannya. Salah satu asuransi yang dikembangkan oleh pemerintah adalah BPJS, baik kesehatan maupun ketenaga kerjaan dengan aturan, hak dan kewajibannya masing-masing.
Dengan adanya BPJS ini, menarik bagi kaum muslim untuk menguraikan bagaimana hukum dan tata pelaksanaan yang sesuai kaidah Islam. Dibawah ini, kami paparkan Hasil Pembahasan Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyyah Muktamar ke 33 Nahdlatul Ulama di Jombang Jawa Timur ( 1 s/d 5 Agustus 2015) tentang hukum BPJS kesehatan
Pertanyaan:
1. Apakah konsep Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS sesuai dengan syariat Islam?
2. Apakah program BPJS itu mengandung riba?
3. Bolehkah pemerintah mewajibkan keikutsertaan rakyat pada program BPJS?
4. Apakah boleh pemerintah menetapkan denda kepada peserta atas keterlambatan pembayaran iuran yang disepakati?
5. Bagaimana hukum investasi dana yang dilakukan oleh BPJS di berbagai sektor?
Jawaban:
1. BPJS yang merupakan program pemerintah yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat (UU BPJS Nomor 40/11) adalah sejalan dengan semangat dan tujuan At-Ta’min At-Ta’awuny (Jaminan Gotong-Royong), yaitu kesepakatan beberapa orang atas kesanggupan masing-masing pada persekutuan tertentu guna mengganti kerugian yang mungkin menimpa salah seorang dari mereka pada saat benar-benar terjadi bahaya (Musibah). Namun demikian, masih terdapat beberapa hal yang harus disempurnakan suapaya BPJS sesuai dengan konsep At-Ta’min At-Ta’awuny yang sesuai syariat Islam, yaitu:
a. Semangat dan tujuan BPJS yaitu pemeliharaan jaminan sosial di bidang kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tanpa keuntungan (Non profit) harus dapat difahami dan disadari oleh seluruh peserta, sehingga tujuan kepesertaan BPJS membantu sesama tanpa berharap keuntungan benar-benar direalisasikan.
b. Dana BPJS harus dikelola menurut pengelolaan keuangan yang sesuai syariat Islam.
c. Kemungkinan dana yang terkumpul melebihi biaya yang dibutuhkan dijadikan sebagai infaq dan sedekah (tidak dikembalikan).
d. Kepesertaan hanya berlaku bagi warga negara yang sudah mampu memenuhi standard minimal kebutuhannya, sehingga warga miskin dan anak-anak tidak boleh diwajibkan menjadi peserta BPJS.
e. Harus dilakukan update data kepesertaan secara berkala mengenai status kemampuan peserta.
f. Pelayanan kepada peserta harus adil dan tidak diskriminatif.
2. Dalam program BPJS tidak mengandung unsur riba dan juga tidak identik dengan asuransi profit apabila semua ketentuan-ketentuan di atas dapat dipenuhi dengan konsisten.
3. Pemerintah boleh mewajibkan keikutsertaan pada program BPJS hanya terhadap warga negara yang sudah mampu memenuhi standard kebutuhan minimalnya (dengan harta atau penghasilan) dalam kurun waktu satu tahun dengan syarat anggaran negara di sektor kesehatan tidak mencukupi serta kadar iuran yang ditetapkan sesuai dengan kemampuan peserta.
4. Pemerintah menerapkan denda keterlambatan diperbolehkan dan hanya berlaku bagi peserta yang masuk katagori mampu.
5. Investasi dana BPJS diberbagai sektor diperbolehkan apabila:
a. Terdapat peluang memperoleh keuntungan dan maslahah
b. Dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan bertanggung jawab.
c. Hasil keuntungan tetap dipergunakan sebagaimana peruntukan harta asal (jaminan sosial kesehatan)
d. Pengelolaannya seseuai ketentuan syariat Islam.
e. Harus diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila terjadi kerugian/kebangkrutan, maka yang bertanggung jawab adalah pihak pengelola (BPJS) jika hal itu terjadi akibat kecerobohan dalam menjalankan prosedur dan ketentuan diatas.
Referensi :
- Al Fiqhul Islami wa Adillatuhuu, ju V halaman 101:
ﺣُﻜْﻢُ ﺍﻟﺘَّﺄْﻣِﻴْﻦِ ﻣَﻊَ ﺷَﺮِﻛَﺎﺕِ ﺍﻟﺘَّﺄْﻣِﻴْﻦِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ
ﺍَﻟﺘَّﺄْﻣِﻴْﻦُ ﺣَﺪِﻳْﺚُ ﺍﻟﻨَّﺸْﺄَﺓِ ، ﻓَﻘَﺪْ ﻇَﻬَﺮَ ﺑِﻤَﻌْﻨَﺎﻩُ ﺍﻟْﺤَﻘِﻴْﻘِﻲُّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘَﺮْﻥِ ﺍﻟﺮَّﺍﺑِﻊَ ﻋَﺸَﺮَ ﺍﻟْﻤِﻴْﻠَﺎﺩِﻱِّ ﻓِﻲْ ﺇِﻳْﻄَﺎﻟِﻴَﺎ ﻓِﻲْ ﺻُﻮْﺭَﺓِ ﺍﻟﺘَّﺄْﻣِﻴْﻦِ ﺍﻟْﺒَﺤْﺮِﻱِّ . ﻭَﺍﻟﺘَّﺄْﻣِﻴْﻦُ ﻧَﻮْﻋَﺎﻥِ : ﺗَﺄْﻣِﻴْﻦٌ ﺗَﻌَﺎﻭُﻧِﻲٌّ ﻭَﺗَﺄْﻣِﻴْﻦٌ ﺑِﻘِﺴْﻂٍ ﺛَﺎﺑِﺖٍ
ﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟﺘَّﺄْﻣِﻴْﻦُ ﺍﻟﺘَّﻌَﺎﻭُﻧِﻲُّ : ﻓَﻬُﻮَ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَّﻔِﻖَ ﻋِﺪَّﺓُ ﺃَﺷْﺨَﺎﺹٍ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَﺪْﻓَﻊَ ﻛُﻞٌّ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﺍِﺷْﺘِﺮَﺍﻛًﺎ ﻣُﻌَﻴَّﻨًﺎ، ﻟِﺘَﻌْﻮِﻳْﺾِ ﺍﻟْﺄَﺿْﺮَﺍﺭِ ﺍﻟَّﺘِﻲْ ﻗَﺪْ ﺗُﺼِﻴْﺐُ ﺃَﺣَﺪَﻫُﻢْ ﺇِﺫَﺍ ﺗَﺤَﻘَّﻖَ ﺧَﻄَﺮٌ ﻣُﻌَﻴَّﻦٌ . ﻭَﻫُﻮَ ﻗَﻠِﻴْﻞُ ﺍﻟﺘَّﻄْﺒِﻴْﻖِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓِ ﺍﻟْﻌَﻤَﻠِﻴَّﺔِ .
ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ :
ﺣُﻜْﻢُ ﺍﻟﺘَّﺄْﻣِﻴْﻦِ ﺍﻟﺘَّﻌَﺎﻭُﻧِﻲِّ :
ﻟَﺎﺷَﻚَّ ﻓِﻲْ ﺟَﻮَﺍﺯِ ﺍﻟﺘَّﺄْﻣِﻴْﻦِ ﺍﻟﺘَّﻌَﺎﻭُﻧِﻲِّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ، ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﻳَﺪْﺧُﻞُ ﻓِﻲْ ﻋُﻘُﻮْﺩِ ﺍﻟﺘَّﺒَﺮُّﻋَﺎﺕِ، ﻭَﻣِﻦْ ﻗَﺒِﻴْﻞِ ﺍﻟﺘَّﻌَﺎﻭُﻥِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺒِﺮِّ؛ ﻟِﺄَﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺸْﺘِﺮِﻙٍ ﻳَﺪْﻓَﻊُ ﺍﺷْﺘِﺮَﺍﻛَﻪُ ﺑِﻄِﻴْﺐِ ﻧَﻔْﺲٍ ﻟِﺘَﺨْﻔِﻴْﻒِ ﺁﺛَﺎﺭِ ﺍﻟْﻤَﺨَﺎﻃِﺮِ ﻭَﺗَﺮْﻣِﻴْﻢِ ﺍﻟْﺄَﺿْﺮَﺍﺭِ ﺍﻟَّﺘِﻲْ ﺗُﺼِﻴْﺐُ ﺃَﺣَﺪَ ﺍﻟْﻤُﺸْﺘَﺮِﻛِﻴْﻦَ، ﺃَﻳًّﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻧَﻮْﻉُ ﺍﻟﻀَّﺮَﺭِ، ﺳَﻮَﺍﺀٌ ﻓِﻲ ﺍﻟﺘَّﺄْﻣِﻴْﻦِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓِ، ﺃَﻭِ ﺍﻟْﺤَﻮِﺍﺩِﺙِ ﺍﻟْﺠُﺴْﻤَﺎﻧِﻴَّﺔِ ...... ﺇﻟﺦ
- Shahih Muslim, juz XII halaman 300 :
ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮْ ﻋَﺎﻣِﺮٍ ﺍﻟْﺄَﺷْﻌَﺮِﻱُّ ﻭَﺃَﺑُﻮْ ﻛُﺮَﻳْﺐٍ ﺟَﻤِﻴْﻌًﺎ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﺃُﺳَﺎﻣَﺔَ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺑُﻮْ ﻋَﺎﻣِﺮٍ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮْ ﺃُﺳَﺎﻣَﺔَ ﺣَﺪَّﺛَﻨِﻲْ ﺑُﺮَﻳْﺪُ ﺑْﻦُ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲْ ﺑُﺮْﺩَﺓَ ﻋَﻦْ ﺟَﺪِّﻩِ ﺃَﺑِﻲْ ﺑُﺮْﺩَﺓَ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻣُﻮْﺳَﻰ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ :
ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺄَﺷْﻌَﺮِﻳِّﻴْﻦَ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺭْﻣَﻠُﻮْﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻐَﺰْﻭِ ﺃَﻭْ ﻗَﻞَّ ﻃَﻌَﺎﻡُ ﻋِﻴَﺎﻟِﻬِﻢْ ﺑِﺎﻟْﻤَﺪِﻳْﻨَﺔِ ﺟَﻤَﻌُﻮْﺍ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻋِﻨْﺪَﻫُﻢْ ﻓِﻲْ ﺛَﻮْﺏٍ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ﺛُﻢَّ ﺍﻗْﺘَﺴَﻤُﻮْﻩُ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﻓِﻲْ ﺇِﻧَﺎﺀٍ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ﺑِﺎﻟﺴَّﻮِﻳَّﺔِ ﻓَﻬُﻢْ ﻣِﻨِّﻲْ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﻣِﻨْﻬُﻢْ
- Shahih Muslim, juz XVII halaman 19 :
ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﺑْﻦُ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﺍﻟﺘَّﻤِﻴْﻤِﻲُّ ﻭَﺃَﺑُﻮْ ﺑَﻜْﺮِ ﺑْﻦُ ﺃَﺑِﻲْ ﺷَﻴْﺒَﺔَ ﻭَﻣُﺤَﻤَّﺪُ ﺑْﻦُ ﺍﻟْﻌَﻠَﺎﺀِ ﺍﻟْﻬَﻤْﺪَﺍﻧِﻲُّ ﻭَﺍﻟﻠَّﻔْﻆُ ﻟِﻴَﺤْﻴَﻰ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﺃَﺧْﺒَﺮَﻧَﺎ ﻭَ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﺂﺧَﺮَﺍﻥِ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮْ ﻣُﻌَﺎﻭِﻳَﺔَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺄَﻋْﻤَﺶِ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ : ﻣَﻦْ ﻧَﻔَّﺲَ ﻋَﻦْ ﻣُﺆْﻣِﻦٍ ﻛُﺮْﺑَﺔً ﻣِﻦْ ﻛُﺮَﺏِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻧَﻔَّﺲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻛُﺮْﺑَﺔً ﻣِﻦْ ﻛُﺮَﺏِ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺴَّﺮَ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﻌْﺴِﺮٍ ﻳَﺴَّﺮَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ ﻭَﻣَﻦْ ﺳَﺘَﺮَ ﻣُﺴْﻠِﻤًﺎ ﺳَﺘَﺮَﻩُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻲْ ﻋَﻮْﻥِ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪِ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﻓِﻲْ ﻋَﻮْﻥِ ﺃَﺧِﻴْﻪِ
- Hasyiyah Ibn Qasim ‘Ala Tuhfatil Muhtaj fi Syarhil Minhaj, juz X halaman 264:
ﻓَﺎﻟْﺄَﻭْﺟَﻪُ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻤُﺘَﻮَﺟَّﻪَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭُﺟُﻮْﺏُ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺔِ ﺑِﺎﻟْﺄَﻣْﺮِ ﺍﻟْﻤَﺬْﻛُﻮْﺭِ ﻣَﻦْ ﻳُﺨَﺎﻃَﺐُ ﺑِﺰَﻛَﺎﺓِ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻓَﻤَﻦْ ﻓَﻀَﻞَ ﻋَﻨْﻪُ ﺷَﻲْﺀٌ ﻣِﻤَّﺎ ﻳُﻌْﺘَﺒَﺮُ ﺛَﻢَّ ﻟَﺰِﻣَﻪُ ﺍﻟﺘَّﺼَﺪُّﻕُ ﻋَﻨْﻪُ ﺑِﺄَﻗَﻞِّ ﻣُﺘَﻤَﻮَّﻝٍ ﻫَﺬَﺍ ﺇﻥْ ﻟَﻢْ ﻳُﻌَﻴِّﻦْ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡُ ﻗَﺪْﺭًﺍ ، ﻓَﺈِﻥْ ﻋَﻴَّﻦَ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺇﻧْﺴَﺎﻥٍ ﻓَﺎﻟْﺄَﻧْﺴَﺐُ ﺑِﻌُﻤُﻮْﻡِ ﻛَﻠَﺎﻣِﻬِﻢْ ﻟُﺰُﻭْﻡُ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟْﻘَﺪْﺭِ ﺍﻟْﻤُﻌَﻴَّﻦِ ﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻈْﻬَﺮُ ﺗَﻘْﻴِﻴْﺪُﻩُ ﺑِﻤَﺎ ﺇﺫَﺍ ﻓَﻀَﻞَ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟْﻤُﻌَﻴَّﻦُ ﻋَﻦْ ﻛِﻔَﺎﻳَﺔِ ﺍﻟْﻌُﻤُﺮِ ﺍﻟْﻐَﺎﻟِﺐِ
Referensi lain:
a. Bugyatul Mustarsyidin, halaman 253
b. Fathul Mu’in (Hamisy I’anatut Thalibin, juz VI halaman 182)
c. Bughyatul Mustarsyidin, halaman 142
d. Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubro, juz III halaman 328
e. Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubro, juz III halaman 331
f. Hasyiyah Al Bujairimy ‘Alal Khathib, juz III halaman 197

Kembali kepada Madzhab atau Kembali Quran Hadits ?

Kembali kepada Madzhab atau Kembali Quran Hadits ?




Melihat pertanyaan diatas, layaknya kita mendengar pertanyaan semacam :

"Kalau sakit, pergi ke dokter atau langsung buka buku kesehatan ?"

"Naik bis, percaya dengan sopir atau 'cerewet' dengan bermodal peta ?"

Sama juga jika ada yang mengatakan

"JANGAN PERCAYA KYAI ! JANGAN PERCAYA HABIB ! KEMBALILAH kepada QURAN dan HADITS ! Siapapun yang ngomong, asalkan yang diomongkan adalah QURAN dan HADITS, maka PASTI BENAR !"

----- DUUUAAARRR -----

Hehehe

Pernyataan semacam ini jika didengar oleh orang awam, seakan2 itu adalah pernyataan yang benar. Tapi jika dipahami lebih lanjut, justru itu adalah pernyataan yang KURANG AJAR

Hloh hloh, kenapa bisa 'kurang ajar' ?

Karena pernyataan seperti diatas, itu menandakan bahwa orang yang bertanya itu menuduh bahwa apa yang di lakukan dokter tidak sesuai dengan buku kesehatan.

Menuduh bahwa sopir itu tidak hafal jalan sehingga harus ia tuntun dengan peta yang ia bawa.

Dan menuduh para ULAMA itu tidak sesuai dengan Quran dan Hadits. Na'udzubillah.

Lebih lanjut, pertanyaan BESAR adalah :

"Siapa sebenarnya yang berkecimpung dan mempelajari Quran Hadits ? Ulama ataukah siapa ?"

_*Justru kita-kita (termasuk saya juga, dan masyarakat secara umum) yang "MEMAHAMI QURAN dan HADITS"  tanpa melalui "Ulama"  (Para Kyai, juga termasuk didalamnya) justru : "BERBAHAYA", sekali lagi... "BERBAHAYA*"

Simak hadits Nabi saw dibawah ini :
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول سيخرج في آخر الزمان قوم أحداث الأسنان سفهاء الأحلام يقولون من خير قول البرية يقرءون القرآن لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية
“Akan keluar di akhir zaman suatu kaum yang usia mereka masih muda, dan bodoh, mereka mengatakan sebaik‑baiknya perkataan manusia, membaca Al Qur’an tidak sampai kecuali pada kerongkongan mereka. Mereka keluar dari din (agama Islam) sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perhatikan, orang yang dibahas oleh Nabi Saw dalam hadits diatas adalah orang yang MEMBACA AL QURAN, tapi ia dianggap keluar dari agama. Siapa itu ?

Secara gamblang, Baginda Nabi Muhammad menyatakan mengenai orang yang "sok" memahami Quran dengan pikiran sendiri. Beliau saw. bersabda :

مَنْ قَالَ فِي القُرآنِ بِرأيِهِ ، فَلْيَتَبوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang berbicara tentang *Al Qur'an dengan PIKIRANNYA SENDIRI,* maka silahkan mengambil tempatnya di neraka (HR. Tirmidzi, Ahmad, Baihaqi, Thobroni)

مَنْ قَالَ فِي القُرآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَلْيَتَبوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa berbicara tentang *Al Qur'an TANPA DIDASARI ILMU,* maka silahkan mengambil tempatnya di neraka. (HR. Tirmidzi, Ahmad, Nasai)

Lihat bagaimana ancaman Nabi saw bagi orang yang langsung *MENUJU ke QU'RAN dengan pikirannya sendiri,* tanpa didasari ilmu.

*Kesimpulan :*

1. Siapa yang paling memahami Al Quran sebagai Kalam Allah ? Tentu Nabi Muhammad !

 قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
Katakanlah (wahai Nabi Muhammad) "Jikalau engkau mencintai Allah, maka ikutilah saya (Nabi Muhammad). (QS. Al Imron : 31)

2. Siapa yang paling memahami Nabi Muhammad ?
Tentu para Sahabat !

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
Engkau harus berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafaur rosyidin (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban, Al Hakim)

3. Siapa yang paling paham tentang  Sahabat ? Tentu Ulama' Tabi'in serta Tabiut Tabi'in

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ( خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ)
Dari Abdullah bin Mas'ud ra. dari Nabi saw beliau bersabda : Sebaik-baik manusia adalah masaku, kemudian masa sesudah mereka, kemudian masa sesudah mereka. (HR. Bukhori Muslim)

Imam Nawawi dalam Syarh Shohih Muslim menerangkan :

"الصَّحِيحُ أَنَّ قَرْنَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الصَّحَابَةُ ، وَالثَّانِي : التَّابِعُونَ ، وَالثَّالِثُ : تَابِعُوهُمْ" انتهى من " شرح النووي على مسلم " (16/85) .

Yang benar bahwa urutan yang disabdakan Nabi saw adalah (masaku yang dimaksut adalah) Sahabat, yang kedua adalah Tabi'in, yang ketiga adalah Tabi'ut Tabi'in.

hehe ternyata Nabi saw MEMERINTAHKAN kita untuk belajar melalui RANTAI KEILMUAN, bukan LANGSUNG "mengOTAK-ATIK" Quran dan Hadits sendiri.

Bahkan, bahkan...
Imam Bukhori yang HEBATnya luar biasa, Imam Muslim yang LUARBIASA hebat pun adalah seorang yang BERMADZHAB !

dan rasanya sangat sulit bahkan hampir mustahil ulama2 setelah tahun 150 H hingga sekarang yang TIDAK BERMADZHAB

فكان الإمام البخارى شافعيا،....، وكذالك إبن حزيمة والنسائي
Imam Bukhori bermadzhab Syafi'i begitu juga Ibnu Khuzaimah dan Nasai. (Risalatu ahlissunnah wal jama'ah hal 15, keterangan senada juga dapat ditemukan dalam Al-Imam Asy-Syafi’i bainal madzhabihil Qadim wal Jadid)

4. Perhatikan nih
*- Imam Hanafi lahir : 80 H*
*- Imam Maliki lahir : 93 H*
*- Imam Syafie lahir : 150 H*
*- Imam Hambali lahir : 164 H*
*- Imam Bukhori lahir : 194 H*
*- Imam Muslim lahir : 204 H*

Lalu setelah itu, muncul pemahaman baru yang *MENGHARAMKAN bermadzhab, yang JARGON nya AYO KEMBALI KEPADA QUR'AN dan HADITS,*
tapi faktanya dalam agama mereka mengikuti :

- Syeikh Ibnu Taimiyyah lahir : 661 H
- Ustadz Muhammad Abdul Wahhab (pendiri gerakan Wahhabi): 1115 H
- Ustadz Albani lahir : 1333 H (wafat tahun 1420 H atau 1999 M)
- Ustadz Abdul Aziz bin Abdullah BIN BAZ lahir : 1330 H (wafat tahun 1420 H atau 1999 Masehi)
- Ustadz Muhammad bin Sholih AL 'UTSAIMIN lahir : 1928 M (wafat 2001 M)

"Apakah Ulama-Ulama yang meninggal tahun 2000-an Masehi dapat disebut sebagai Ulama SALAF ?"

Jadi, *MASIH MAU DIBOHONGI* oleh paham2 baru? Sudah ikut kyai NU aja...

Wallahu a'lam bis showaab

Sumber: Grup WA BMNU