Kamis, 12 Januari 2017

HADITS TENTANG PENDIDIKAN FISIK DAN RASIO

HADITS TENTANG PENDIDIKAN FISIK DAN RASIO


Disusun untuk Memenuhi Tugas Hadits Tarbawi

Dosen Pengampu: Syaiful Muda’i, M.Sy


Oleh:
Aqim Durrotul Aimmah
Dewi Martalia K.



PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUSSALAM

2016


HADITS TENTANG PENDIDIKAN FISIK DAN RASIO


A.  Pendahuluan

Menurut Murtadha Muttahhari, dalam al-Quran digambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifahnya di bumi, serta sebagai makhluk yang semi samawi semi duniawi yang dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas, bertanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta, serta dikaruniai keunggulan untuk menguasai alam semesta, langit dan bumi. Kemajuan mereka dimuali dari ketidak mampuan yang kemudian bergerak ke arah kekuatan, tetapi itu tidak akan menghilangkan kegelisahan mereka, kecuali dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka memiliki keluhuran dan martabat naluriah. Dan mereka dapat leluasa memanfaatkan nikmat dan karunia yang dilimpahkan Allah. Tetapi dengan kedudukan yang demikian, manusia sering melupakan hakikat dirinyasebagai hamba Allah. Manusia sering bertindak sewenang-wenang, tidak mematuhi aturan yang mengikat dirinya, dan sering merasa takabur terhadap Allah. Manusia sendiri terdiri dari tiga aspek, yaitu: [1]
1.    Aspek jasmani, kata jasmani berasal dari bahasa Arab al-Jism yang bermakna tubuh. Pengakuan akan pentingnya jasmani juga terdapat dalam berbagai ayat al-Quran.
2.    Aspek akal, bahwa dalam setiap individu memiliki akal sebagai kelebihan yang membedakannya dengan makhluk lain.
3.    Aspek ruhani, ruh dalam diri manusia itu ada meski tidak dapat didefinisikan, karena ruh adalah urusan Allah dan pengetahuan manusia masih terlalu sempit untuk dapat mengetahui ruh.  
Dengan adanya tiga aspek ini tentunya manusia harus mampu menjaga dan memanfaatkannya. Dengan pendidikan, manusia akan mampu mengembangkan aspek tadi secara maksimal, ditambah dengan adanya rambu-rambu dari al-Quran maupun hadits sehingga pengembangan potensi tersebut akan optimal dan tetap sesuai dengan tuntunan agama.

B.  Pembahasan

1.    Pendidikan Fisik

Setiap manusia memiliki fisik (jasmani) yang mempunyai kebutuhan yaitu makan dan minum. Karena secara umum tanpa makan dan minum, manusia akan mati. Akan tetapi ada tata cara yang harus diperhatikan dalam makan dan minum, dan itu semua bertujuan untuk menjaga kesehatan fisik. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah bersabda:
وَعَنْ أَبِي كَرِيْمَةَ الْمِقْدَادِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ, عَنِ النَبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَا مَلأ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطِّنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ  اُكُلَاتٌ يُقِمْنَ  صُلْبَهُ  فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةً  فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ  وَ ثُلُثٌ  لِشَرَابِهِ وَ ثُلُثٌ لِنَفَسِهِ. رَوَاهُ التُّرْمُذِيُّ
Artinya: “Dari Abi Karimah al-Miqdad bin Ma’di Kariba berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: tidak ada yang lebih jahat daripada yang memadati perutnya. Cukuplah seseorang dengan beberapa suap makanan untuk menguatkan badannya. Jika perlu ia makan, hendaklah perutnya diisi sepertiga makanan, sepertiga air (minum), dan sepertiga lagi untuk udara (bernafas).” HR. Tirmidzi.[2]
Hadits tersebut menerangkan kepada kita bahwa dalam pemenuhan kebutuhan fisik terdapat aturan dan anjuran dari Rasulullah, bagaimana seharusnya kita mengisi lambung sehingga tidak mual karena terlalu kosong, ataupun sesak napas karena terlalu banyak makanan yang masuk ke lambung. Dalam hal ini Rasulullah menganjurkan untuk membagi ruang dalam lambung menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama diisi makanan, bagian kedua diisi air atau minuan, dan bagian terakhir diisi udara. Keseimbangan antara tiga ruangan ini tentu akan membawa dampak positif bagi kesehatan tubuh.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal makan dan minum, yaitu: 1) perut yang besar adalah rumah penyakit, sedangkan menjaga diri sebelum sakit adalah pokok pangkal pengobatan, karena jika seseorang sudah terlanjur sakit akan sulit untuk diobati, dan tentunya akan memakan waktu juga biaya dalam pengobatannya. 2) Bukan banyaknya makanan yang menyebabkan kuatnya tubuh, tetapi makan secukupnya yang akan menjadikan tubuh sehat, bersemangat dalam belajar maupun bekerja, serta akan melancarkan otak dlam berpikir. 3) Ketika lambung sudah banyak terisi oleh makanan, maka akan sempit ruang bagi air, sehingga berkurang pula ruang untuk udara. Jika sudah terjadi hal yang demikian, metabolisme tubuh akan menurun dan akan berakhir dengan kemalasan untuk beraktifitas.[3]
Selain membagi kapasitas lambung menjadi tiga bagian tersebut, beberapa adab makan lainnya adalah membaca basmallah sebelum makan, makan menggunakan tangan kanan, makan dengan menggunakan tangan kanan karena menurut riwayat setan makan dengan menggunakan tangan kirinya. Tangan kanan lebih mulia daripada tangan kiri dan biasanya tangan kanan lebih kuat daripada tangan kiri. Selain dari itu Islam mengajarkan untuk menjaga jadwal menu makan dengan baik. Manusia diajarkan mengonsumsi berbagai variasi makanan dengan cukup dan tidak berlebih-lebihan.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, asupan gizi dari makanan yang diamakan oleh seseorang tentu berpengaruh terhadap metabolisme tubuh dan kerja otak. Karena memang hubungan gizi nutrisi terhadap kesehatan dan kecerdasan  adalah berkaitan erat dalam hal ini. Kecerdasan, keterampilan dan perkembangan serta pertumbuhan dan juga mental psikologi.
Selain dari sisi pemenuhan kebutuhan makan dan minum, Rasulullah juga menganjurkan beberapa kegiiatan yang berkaitan dengan fisik seperti dijelaskan dalam hadits berikut
عَنْ عُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ قَالَ قَالَ رَسُلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ إِنَّ اللهَ يُدْخِلُ بِالسَّهْمِ الْوَاحِدِ ثَلَاثَةَ نَفَرٍ الْجَنَّةَ صَانِعَهُ يَحْتَسَبُ فِي صُنْعِهِ الْخَيْرَ وَالرَّمِيَ بِهِ وَمُنَبِّلَهُ وَارْمُوا وَاَرْكَبُوا وَأَنْ تَرْمُوا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ تَرْكَبُوا وَلَيْسَ اللَّهوُ إِلاَّ فِي ثَلاَثَةٍ تَأْدِيبِ الرَّجُلِ فَرَسَهُ وَمُلاَعَبَتِهِ امْرَأَتَهُ وَرَمْيِهِ بِقَوْسِهِ وَنَبْلِهِ وَ مَنْ تَرَكَ الرَّمْيَ بَعْدَ مَا عَلِمَهُ رَغْبَةً عَنْهُ فَإِنَّهَا نِعْمَةٌ كَفَرَهَا أَوْ قَالَ كَفَرَ بِهَ (النسائي)
Artinya: “Dari Uqbah bin Amir berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah memasukkan tiga orang ke surga sebab satu panah; pembuatnya yang mengharapkan kebaikan dalam pembuatannya, pemanah dan pemberi anak panah. Panahkah dan berkendaralah dan panahanmu lebih aku cintai daripada engkau berkendaraan. Tidak ada permainan melainkan pada tiga perkara; pengajaran seseorang pada kudanya, bermain-main dengan istrinya, dan memanah dengan busur dan anak panah. Barang siapa yang meninggalkan memanah setelah ia terampil karena benci, maka sesungguhnya ia nikmat yang dikufuri atau bersabda; ia mengkufurinya.” HR. Al-Nasa’i dan Al-Turmudzi.
Islam mengajarkan keterampilan yang bermanfaat baik untuk di dunia maupun di akhirat. Banyak sekai hadits lain yang mengajarkan keterampilan diantaranya mengajarkan berenang, menunggang kuda, memanah, dan lain-lain. Keterampilan memanah sendiri pada masa itu memang diperlukan dalam peperangan. Sementara saat ini dalam mengikuti kemajuan zaman, berbagai bentuk keterampilan lainnya asal dengan niat yang baik untuk kemajuan dan kemashlahatan umat Islam, meningkatkan taraf hidup umat Islam, dan lain-lain sama dengan jihad. Dalam hadits juga diterangkan bahwa tiga keterampilan yang diperbolehkan dan mendapat pahala, yaitu: melatih kuda, bersenda gurau bersama istri, dan memanah. Maknanya segala sesuatu yang mendukung kebenaran baik ilmu teoritis maupun terapannya tergolong permainan yang dianjurkan dengan catatan pada hal-hal yang mubah bukan haram, seperti lomba lari, mengendarai kuda, mobil, dan berbagai bentuk olah raga lainnya
Dari hadits diatas dapat diketahui bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan fisik tidak hanya melului makanan dan minuman, juga harus ditunjang dengan aktifitas yang dilakukan dengan gerakan tubuh yang teratur dengan tujuan meningkatkan berbagai kemampuan tubuh dan menambah kecekatan geraknya. Hal ini dilakukan untuk menjaga tubuh agar kuat, aktif, dan energik. Pendidikan jasmani bekerja untuk mengarahkan energi-energi yang terbentuk sejalan dengan tuntutan-tuntutan diri manusia secara sinergis. Semua keterampilan hendaknya dikuasai oleh umat Islam dan diberikan kepada anak didik baik yang meningkatkan kesehatan metabolisme seperti olah raga, maupun keterampilan murni untuk meningkatkan kualitas sains dan teknologi. Oleh karenanya, ada larangan bagi seseorang yang telah menguasai suatu ilmu dan terampil melakukannya untuk melupakan ilmu tersebut karena benci. Perbuatan tersebut merupakan bentuk kufur terhadap nikmat.
Hal ini juga membuktikan bahwa pendidikan dalam Islam tidak hanya memperhatikan meteri agama tetapi juga materi keterampilan bersifat duniawi secara bersamaan. Tetapi letak materi keterampilan ini sebagai sarana pendukung untuk mencapai kesempurnaan dalam beragama. Adanya aktifitas fisik ini selain dalam rangka menjaga kebugaran fisik, tentu juga berpengaruh pada kesehatan psikis. Dimana dalam pelaksanaanya selain sebagai sarana olah raga juga menjadi sarana hiburan untuk membantu menimbulkan semangat dalam melaksanakan kewajiban. Karena pada dasarnya tubuh akan mencapai titik jenuhnya jika terus menerus dipacu untuk serius tanpa jeda untuk mengistirahatkan dari rutinitas. [4]
Sesungguhnya kita diciptakan oleh Allah mempunyai tugas tertentu yaitu agar kita senantiasa mengabdikan diri kepada Allah serta mentaati dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan adanya karunia yang berupa fisik, manusia dituntut untuk bersyukur atas apa yang diterimanya, dengan cara memperbanyak ibadah. Terkait dengan hal ibadah, manusia yang sudah berkeluarga terutama seorang suami mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah lahir dan bathin kepada keluarganya. Hal ini juga termasuk sebagai pemanfaatan fisik, seperti dalam sabda Rasulullah berikut
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ : دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيْلِ اللهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ
فِى رَقَبَةٍ وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا اَلَّذِى أَنْفَقْتَهُ
عَلَى أَهْلِكَ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya: “Harta yang engkau infaqkan di jalan Allah, harta yang engkau infaqkan untuk memerdekakan budak, harta yang engkau infaqkan untuk orang-orang miskin, dan harta yang engkau infaqkan untuk keluargamu, ganjaran yang lebih besar adalah yang engkau infaqkan untuk keluargamu.” HR. Muslim dan Ahmad.[5] 

2.    Pendidikan Rasio

Rasio yang menurut kamus besar bahasa Indonesia didefinisikan sebagai pemikiran menurut akal sehat merupakan salah satu materi yang dapat membentuk pola pikir seorang anak mengarah pada sesuatu yang bermanfaaat, memiliki pola pemikiran yang cerdas, sehingga pemikirannya menjadi matang, dan memiliki keilmuan yang tinggi. Selain rasio yang identikkan dengan akal, kini muncul lagi istilah logika, nalar, intelegensi dan juga intelektual.
a.    Akal adalah segala sesuatu yang merupakan perpaduan dari ungsur rasio dan hati. Karena, segala sesuatu yang masuk akal belum tentu dapat dirasionalkan, hal ini dikarenakan fungsi rasio belum bersamaan dengan ungsur hati. Akal menurut Drs Sidi Gazalba dalam bukunya ‘Ilmu dan Islam’, pengertian akal mula-mula mengikat atau menahan dan membedakan. Sehingga, akal merupakan tenaga yang menghubungkan diri dari mahluk yang memilikinya, dari perbuatannya dan membedakan dari mahluk-mahluk lainnya. Sedangkan menurut Prof.Dr. Harun Nasution dalam karyanya ‘Akal dan Wahyu’ dalam Islam, akal juga berarti al-Hijr yaitu menahan, al-‘Aqil ialah orang yang menahan dan mengekang hawa nafsu. Orang aqil orang yang dapat menahan amarah dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapi.
b.    Logika adalah hasil pertimbangan rasionalitasan yang diutarakan lewat kata, percakapan dan dinyatakan dalam bahasa.
c.    Nalar adalah proses berfikir yang bertolak dari pengalaman indra, yang mengahaasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berasarkan pengamatan yang sejenis juga akan membentuk poposisi-roposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar.
d.   Intelegensi berasal dari bahasa Inggris “Intelligence” yang juga berasal dari bahasa Latin yaitu “Intellectus dan Intelligentia” yaitu, suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional, terarah dan menghadapai lingkungan secara efektif. Oleh karena itu, intelegensi sebenarnya tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional.
e.    Intelektual berasal dari bahasa Inggris intellectual yang artinya cerdas, pandai atau kemampuan berfikir seseorang terhadap permasalahan nyata disekitar kita dan kecerdasan menggunakan pengalaman secara tajam, tepat dan bermanfaat.
Walaupun logika dan rasio merupakan sama-sama hasil dari pemikiran akal sehat tetapi tetap memilki perbedaan. Rasio memiliki ciri-ciri yang paling mencolok dari ketiga hasil pemikiran tersebut. Karena rasio merupakan hubungan taraf atau bilangan antara dua hal yang mirip. Logika lebih komplek dari pada nalar. Karena logika dibuat dengan penjelasan yang dinyatakan dengan dalam bahasa. Sedangkan nalar merupakan proses berfikir yang bertolak dari pengamatan indera atau biasa disebut dengan insting. Sedangkan intelegensi menurut Spearman da Wynn mengemukakan adanya konsep lama mengenai suatu kekuatan yang melengkapi rasionalitasan manusia tunggal pengetahuan sejati. [6]
Dalam Islam sendiri manusia dituntut untuk dapat berpikir secara rasional baik dalam bentuk teritis maupun praktis. Salah satu hadits yang menerangkan tentang rasio adalah sebagai berikut
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اْللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ : لاَ يَتَمَنَّى أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ، وَلاَ يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ، اَنَّهُ إِذَا مَاتَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ، وَ إِنَّهُ لاَ يَزِيْدُ الْمُؤْمِنَ عُمْرُهُ إِلاَّ خَيْرًا. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya: “Rasulullah bersabda: Janganlah salah seorang diantara kalian mengharapkan kematian dan jangan pula berdoa mengharapkannya sebelum tiba waktunya. Sebab, jika salah seorang diantara kalian meninggal dunia, maka akan terputus amalnya. Sesungguhnya tidaklah seorang mukmin bertambah umurnya melainkan berupa kebaikan.” (H.R Imam Muslim)[7]
Berpikir rasional dalam konteks hadits ini adalah agar manusia tidak putus asa dalam menjalani hidupnya. Ketika menghadapi kehidupan di dunia ini, manusia selalu berhadapan dengan dua keadaan silih berganti. Suatu saat merasakan suka, saat lain merasakan duka. Pada saat bahagia, terkadang manusia menjadi lupa. Sebaliknya, saat duka mendera, seringkali manusia berkeluh kesah. Bagi hamba Allah Swt yang beriman, hidup adalah ujian. Selama hidup, selama itulah kita diuji Allah sebagai pencipta, penguji, dan penentu siapa yang lebih baik amalnya diantara umat-umat-Nya.
Berkaitan dengan ujian itu sendiri terdapat berbagai macam ujian yaitu dalam bentuk perintah, larangan, musibah, nikmat, ujian dari orang dzalim, ujian dari keluarga, dan ujian dari lingkungan. Dalam menghadapi berbagai ujian inilah hendaknya seseorang tidak mudah berputus asa apalagi sampai berdoa mengharapkan kematian untuk menghindarkan diri dari ujian tadi. Karena pada dasarnya Allah pun tidak akan menguji melebihi batas kemampuan hambanya, terutama hamba yang mau meminta pertolongan-Nya dan senantiasa bersabar.
Seseorang dilarang mengharapkan kematian, bahkan ketika ia menghadapi ujian yang berat seperti yang dialami Khobbab bin al-Arrat. Dimakruhkannya mengharap kematian ini bukan berarti benci bertemu Allah, dalam hadits lainnya juga disebutkan bahwa seseorang yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah juga akan senang bertemu dengannya, seperti ketika seseorang mendengan berita tentang rahmat, keridhoan maupun surga. Dan sebaliknya jika seseorang membenci pertemuan dengan Allah, maka Allah juga akan membenci pertemuan dengannya, seperti seorang kafir yang ketika mendengar berita tentang adanya adzab dan kemurkaan Allah. Ataupun ketika seseorang dicabut nyawanya dan mengetahui apa yang akan ia jalani setelahnya sebagai nikmat sehingga ia berbahagia bertemu dengan Allah, dengan mereka yang membenci ketika dicabut nyawanya dan mengetahui tempatnya kembali merupakan kejelekan.
Dalam hadits diatas dapat diketahui bahwa kehidupan seorang mukmin adalah lebih baik. Sebab ketika dia meninggal, maka akan terputus semua amalnya. Oleh karenanya seorang hamba diharuskan untuk mampu bersabar dalam menghadapi cobaan dan tidak gelisah, sebab kegelisahan merupakan salah satu bentuk ketidak relaan terhadap takdir Allah. Seorang hamba yang beriman hendaknya memasrahkan segala urusannya pada Allah serta senantiasa berusaha mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat dengan memperbanyak beribadah dan menjauhi larangan-Nya.

C.    Kesimpulan

1.      Pendidikan fisik merupakan pendidikan yang mengupayakan untuk pemenuhan kebutuhan fisik seseorang, baik berupa kebutuhan primer berupa makan dan minum, maupun kebutuhan sekunder seperti akifitas pengembangan fisik berupa olah raga. Yang kesemuanya itu dimaksudkan untuk menunjang pelaksanaan ibadah seseorang terhadap Allah SWT.
2.      Pendidikan rasio adalah pendidikan yang mengarahkan manusia untuk senantiasa menggunakan akal pikirannya dalam bertindak, sehingga apa yang ia lakukan dapat diterima akal sehat, tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain, serta tetap berada dalam koridor agama, baik ketika  berada dalam kesenangan mupun kesulitan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Kencana, 2012)
Abu Zakariya Yahya An-Nawawi, Riyadhus Sholihin (Semarang : Toha Putra, Tt)
Ade Hashman, Rahasia Kesehatan Rasulullah, (Jakarta: Noura Books, 2012)
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Rosda, 2013)
Shindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1983)




[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Rosda, 2013) hlm. 56.
[2] Abu Zakariya Yahya An-Nawawi, Riyadhus Sholihin (Semarang : Toha Putra, Tt), 239.
[3] Ade Hashman, Rahasia Kesehatan Rasulullah, (Jakarta: Noura Books, 2012) hlm. 46.
[4] Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Kencana, 2012) hlm. 26-29
[5] Abu Zakariya Yahya An-Nawawi, Riyadhus Sholihin, 149.
[6] Shindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta:  Gramedia Pustaka, 1983) hlm.124
[7] Abu Zakariya Yahya An-Nawawi, Riyadhus Sholihin, 270.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar