MASHLAHAH MURSHALAH
MAKALAH USHUL FIQH
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Saleem Arrofik, M.Sy
Oleh
:
Dewi
Martalia Kurniasari
PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUSSALAM
2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur saya panjatkan kehadiran kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat-Nya saya dapat
menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad S.A.W yang diutus sebagai rahmat untuk sekalian alam dan
membimbing umat ke jalan yang lurus.
Ribuan terima kasih saya ucapkan kepada :
1.
Bapak Saleem Arrofik, M.Sy yang telah memberikan
pengarahan atas terselesaikannya makalah ini.
2.
Pihak-pihak yang membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
3.
Teman-teman semester III.
Makalah ini disusun sebagai pemenuhan tugas mata
kuliah Ushul fiqh. Saya menyadari
tentunya makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya saya senantiasa mengharap
adanya kritik dan saran guna perubahan yang lebih baik kedepannya. Kendati
demikian, saya berharap makalah ini
bermanfaat bagi para pembaca. Akhir kata, permohonan maaf kami haturkan atas
segala kekurangan dalam makalah ini.
Krempyang, 7 Oktober
2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ............................................................................................................... i
KATA
PENGANTAR ............................................................................................................ ii
DAFTAR
ISI ......................................................................................................................... iii
BAB
1 PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang ............................................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah ....................................................................................... 1
C.
Tujuan Pembahasan ..................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mashlahah.................................................................................. 2
B.
Klasifikasi
Mashlahah dan Contohnya......................................................... 3
C.
Mashlahah
Mursalah dan Kehujjahannya..................................................... 6
D.
Perbedaan
Pendapat Ulama Mengenai Mashlahah Mursalah....................... 8
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
................................................................................................. 10
B.
Saran ........................................................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA ........................................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seluruh hukum yang
ditetapkan Allah SWT. atas hamba-Nya dalam bentuk perintah atau larangan adalah
mengandung maslahat. Tidak ada hukum syara’ yang sepi dari maslahat. Seluruh
perintah Allah bagi manusia untuk melakukannya mengandung manfaat untuk dirinya
baik secara langsung maupun tidak. Manfaat itu ada yang dapat dirasakannya pada
waktu itu juga dan ada yang dirasakan sesudahnya. Begitu pula dengan semua
larangan Allah untuk dijauhi manusia. Di balik larangan itu terkandung
kemaslahatan, yaitu terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan.
Dalam
perkembangan Islam banyak sekali dasar yang telah menjadi dasar hukum yang kita
ketahui selain Al-Qur’an dan As-Sunnah dimana contohnya Ijma, Qiyas,
Istihsan, Mashlahah Mursalah dan lain sebagainya. Sebagaimana sudah
menjadi perbincangan para ulama ushul fiqih. Dan banyak pula perbedaan para
ulama-ulama ushul fiqih dan para imam-imam, salah satu metode yang dikembangkan
ulama ushul fiqh dalam mengistinbatkan hukum dari nash adalah mashlahah
mursalah.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat
ditarik beberapa masalah sebagai berikut
1.
Bagaimana pengertian
mashlahah?
2.
Bagaimana klasifikasi
mashlahah?
3.
Bagaimana mashlahah
mursalah dan kehujjahannya?
4.
Bagaimana perbedaan
pendapat ulama mengenai mashlahah mursalah?
C. Tujuan
Tujuan pembahasan makalah ini antara
lain
1.
Mengetahui dan memahami
pengertian mashlahah.
2.
Mengetahui dan memahami
klasifikasi mashlahah.
3.
Mengetahui dan memahami mashlahah mursalah dan kehujjahannya.
4.
Mengetahui dan memahami perbedaan
pendapat ulama mengenai mashlahah mursalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mashlahah
Sebelum
menjelaskan arti mashlahah mursalah, terlebih dahulu perlu dibahas tentang
mashlahah, karena mashlahah mursalah merupakan salah satu bentuk dari
mashlahah. Mashlahah berasal dari kata shalaha yang secara arti kata
berarti baik. Pengertian mashlahah dalam bahasa Arab berarti perbuatan yang
mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam artinya yang umum adalah segala
sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan
seperti menghasilkan keuntungan, atau dalam arti menolak atau menghindarkan
seperti menolak kemadharatan.
Sementara secara
terminologi, beberapa ahli dan ulama memiliki pendapat yang berbeda namun jika
dianalisis hakikatnya adalah sama.
1.
Al Ghazali menjelaskan
bahwa menurut asalnya bahwa mashlahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan
manfaat dan menjauhkan madharat, dan hakikat dari mashlahah sendiri adalah
memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum).
2.
Al ‘Iez ibn Abd As Salam
memberikan arti mashlahah dalam bentuk hakikinya dengan kesenangan dan
kenikmatan, sedangkan bentuk majazinya adalah sebab-sebab yang mendatangkan
kesenangan dan kenikmatan tersebut.
3.
Al Syatibi mengartikan
mashlahah dalam dua pandangan, yaitu dari segi terjadinya mashlahah dalam
kenyataan, dan dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada mashlahah.
a.
Dari segi terjadinya
mashlahah dalam kenyataan, yaitu sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan
manusia, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya secara
mutlak.
b.
Dari segi tergantungnya
tuntutan syara’ kepada mashlahah, yaitu kemashlahatan yang merupakan tujuan
dari penetapan hukum syara’, untuk meghasilkannya, Allah menuntut manusia untuk
berbuat.
4.
Al Thufi mendefinisikan
mashlahah sebagai ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam
bentuk ibadat atau adat.
Dari beberapa
definisi tentang mashlahah dengan rumusan yang berbeda tersebut dapat
disimpulkan bahwa mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal
sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan bagi manusia,
sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Dari kesimpulan
tersebut terlihat adanya perbedaan antara mashlahah dalam pengertian bahasa
(umum) dengan mashlahah dalam pengertian hukum atau syara’. Perbedaannya
terlihat dari segi tujuan syara’ yang dijadikan rujukan. Mashlahah dalam
pengertian bahasa merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya
mengandung pengertian untuk mengikuti syahwat dan hawa nafsu. Sedangkan pada
mashlahah dalam artian syara’ yang menjadi titik bahasan dalam ushul fiqh, yang
selalu menjadi ukuran atau rujukannya adalah tujuan syara’ yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda tanpa melepaskan tujuan pemenuhan
manusia.[1]
B. Klasifikasi Mashlahah dan Contohnya
Sebagaimana
dijelaskan diatas bahwa mashlahah dalam artian syara’ bukan hanya didasarkan
pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan karena dapat
mendatangkan kenikmatan dan menghindarkan kerusakan, tapi lebih dari itu, bahwa
apa yang dianggap baik oleh akal juga harus sejalan dengan syara’ dalam
menetapkan hukum. Kekuatan mashlahah dapat dilihat dari segi tujuan syara’
dalam menetapkan hukum, yang berkaitan dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan
manusia. Juga dapat dilihat dari segi tingkat kebutuhan dan tuntutan kehidupan
manusia kepada lima hal tersebut. Selain itu dapat pula diklasifikasikan
menurut isi kandungan mashlahah dan menurut berubah atau tidaknya mashlahah.
1.
Dari segi kekuatannya
sebagai hujjah dalam menetapkan hukum
a.
Mashlahah Dharuriyah
Mashlahah
dharuriyah adalah kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh umat
manusia, artinya kehidupan manusia tidak akan berarti apa-apa bila saja satu
dari lima prinsip tersebut tidak ada. Segala usaha yang secara langsung
menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau
mashlahah dalam tingkat dharuri. Karena itu Allah memerintahkan manusia
melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan pokok tersebut juga sebaliknya.
Sebagai contoh,
dalam hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara agama, melarang membunuh untuk
memelihara jiwa, melarang minum minuman keras untuk memelihara akal, melarang
berzina untuk memelihara keturunan, dan melarang mencuri untuk memelihara
harta.
b.
Mashlahah Hajiyah
Mashlahah hajiyah
adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada
pada tingkat dharuri. Bentuk kemashlahatannya tidak secara langsung bagi
pemenuhan kebutuhan pokok yang lima, tetapi secara tidak langsung menuju ke
arah sama seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan
hidup manusia. Mashlahah hajiyah jika tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia
juga tidak secara langsung menyebabkan kerusakan lima unsur pokok tersebut.
Contoh Mashlahah
hajiyah adalah menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama, makan untuk
kelangsungan hidup, mengasah otak untuk kesempurnaan akal, melakukan jual beli
untuk mendapatkan harta, dan juga sebaliknya.
c.
Mashlahah Tahsiniyah
Mashlahah tahsiniyah adalah
mashlahah yang tingkat kebutuhan hidup manusia padanya tidak sampai tingkat
dharuri, juga tidak sampai pada tingkat haji, namun mashlahah tersebut perlu
dipenuhi bagi kesempurnaan dan keindahan hidup manusia. Contoh yang termasuk
dalam usaha-usaha penyempurnaan terhadap apa yang pantas dan apa yang tidak
pantas, seperti kesopanan-kesopanan dalam berbicara, makan dan minum,
pembelanjaan harta dengan sedang, yakni tidak terlalu menghambur dan tidak pula
terlalu kikir
2.
Dari segi kandungan
mashlahah
a.
Mashlahah al Ammah
Yaitu
kemashlahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemashlahatan umum
itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang tetapi bisa berbentuk
kepentingan mayoritas atau kebanyakan umat. Contoh mashlahah al ammah adalah
para ulama’ membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah
umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
b.
Mashlahah al Khashshah
Yaitu
kemashlahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemashlahatan yang
berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan
hilang.
Pentingnya pembagian
kedua mashlahah ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan
apabila antara kemashlahatan umum bertentangan dengan kemashlahatan pribadi.
Dalam pertentangan ini Islam mendahulukan kemashlahatan umum daripada
kemashlahatan pribadi.
3.
Dari segi berubah atau
tidaknya mashlahah
Dari segi berubah
atau tidaknya mashlahah, menurut Muhammad Musthafa Al-Syalabi, guru besar ushul
fiqh di Universitas Al-Azhar Mesir, ada dua bentuk yaitu:
a.
Mashlahah al Tsabitah
Yaitu
kemashlahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya
kewajiban ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
b.
Mashlahah al Mutaghayyirah
Yaitu
kemashlahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan tempat, waktu, dan
subjek hukum. Kemashlahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan mu’amalah
dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah makanan yang berbeda-beda antara satu
daerah dengan daerah lainnya. Perlunya pembagian ini, dimaksudkan untuk
memberikan batasan kemashlahatn mana yang bisa dirubah dan mana yang tidak.[2]
4.
Dari segi adanya keserasian
dan kesejalanan antara akal dan tujuan syara’
a.
Mashlahah al Mu’tabarah
Mashlahah al
mu’tabarah adalah mashlahah yang diperhitungkan oleh syara’. Maksudnya ada
petunjuk dari syara’, baik langsung maupun tidak langsung, yang memberikan
petunjuk pada adanya mashlahah yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum. Dari
langsung tidaknya dalil terhadap mashlahah tersebut, dibagi menjadi dua yaitu:
1)
Munasib mu’atstsir
Yaitu adanya
petunjuk langsung dari pembuat hukum syara’ yang memperhatikan mashlahah
tersebut dalam bentuk nash atau ijma’
yang menetapkan bahwa mashlahah itu dijadikan alasan dalam menetapkan
hukum.
Contoh dalil nash
yang menunjuk langsung pada mashlahah, umpamanya tidak baiknya mendekati
perempuan yang sedang haid dengan alasan haid itu adalah penyakit. Hal ini
disebut mashlahah karena menjauhkan diri dari kerusakan dan penyakit. Alasan
adanya “penyakit” tadi yang dikaitkan dengan
larangan mendekati perempuan, disebut munasib. Hal ini ditegaskan dalam surat
Al-Baqarah ayat 222:
وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ قُلْ هُوَ
أَذًى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ
Artinya: “Mereka
bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu adalah penyakit, oleh
karenanya jauhilah perempuan yang sedang haid”
Jadi Contoh dalil yang merujuk langsung kepada mashlahah dalam
bentuk ijma’, umpamanya menetapkan kewalian ayah terhadap harta anak-anaknya
dengan ‘illat “belum dewasa”. Adanya hubungan belum dewasa dengan hukum
perwalian adalah mashlahah atau munasib. Dalam hal ini ijma’ sendiri yang
mengatakan demikian.
2)
Munasib mulaim
Munasib mulaim
yaitu tidak ada petunjuk langsung dari syara’ baik dalam bentuk nash atau ijma’
tentang perhatian syara’ terhadap mashlahah tersebut, namun secara tidak
langsung ada. Jadi meskipun syara’ secara langsung tidak menetapkan suatu
keadaan menjadi alasan untuk menetapkan hukum yang disebutkan, namun ada
petunjuk syara’ bahwa keadaan itulah yang ditetapkan syara’ sebagai alasan
untuk hukum yang sejenis.
Contoh dari
Munasib mulaim yaitu bolehnya jama’ sholat bagi orang yang muqim karena hujan.
Keadaan hujan itu memang tidak pernah dijadikan alasan untuk hukum jama’
shalat, namun syara’ melalui ijma’ menetapkan keadaan yang sejenis dengan hujan
yaitu dalam perjalanan menjadi alasan untuk bolehnya jama’ shalat. Ataupun
menetapkan keadaan dingin menjadi alasan untuk halangan shalat berjamaah. Tidak
ada petunjuk dari syara’ untuk menetapkan dingin sebagai halangan sholat
berjamaah, namun ada petunjuk bahwa keadaan yang sejenis dengan dingin tersebut
yaitu perjalanan sebagai alasan bagi hukum yang sejenis dengan meninggalkan
shalat jamaah, yaitu jama’ shalat. Dingin itu sejenis dengan perjalanan yaitu
sama dalam hal menyulitkan, sedangkan meninggalkan shalat jamaah sejenis dengan
jama’ shalat, yaitu sama-sama rukhsah hukumnya. Dari uraian diatas tampak bahwa
pada bentuk mashlahah yang dalilnya tidak langsung masih ada petunjuk syara’
meskipun sangat kecil.
b.
Mashlahah al Mulghah
Mashlahah al
mulghah atau mashlahah yang ditolak, yaitu mashlahah yang dianggap baik oleh
akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk syara’ yang
menolaknya. Hal ini berarti akal menganggapnya baik dan telah sejalan dengan
tujuan syara’ namun ternyata syara’ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa
yang dituntut oleh mashlahah tersebut.
Contoh Mashlahah
al Mulghah adalah , di masa kini masyarakat telah mengakui emansipasi wanita
untuk menyamakan derajatnya dengan laki-laki. Oleh karena itu akal menganggap
baik untuk menyamakan hak perempuan dan laki-laki dalam memperoleh harta
warisan. Hal ini pun dianggap sejalan dengan tujuan diterapkannya hukum Allah
untuk memberikan hak waris kepada perempuan sebagaimana yang berlaku pada
laki-laki. Namun hukum Allah telah jelas dan ternyata berbeda, yaitu hak waris
anak laki-laki adalah dua kali lipat anak perempuan.
c.
Mashlahah al Mursalah
Yaitu
kemashlahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula ditolak
melalui dalil yang rinci. Kemashlahatan dalam bentuk ini dibagi menjadi dua
bentuk yaitu :
1)
Mashlahah al gharibah
Yaitu
kemashlahatan yang asing, atau kemashlahatan yang sama sekali tidak ada
dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun secara umum. Para ulama’ ushul
fiqh tidak dapat mengemukakan contoh pastinya, bahkan Imam al Syatibi
mengemukakan bahwa mashlahah ini tidak ditemukan dalam praktiknya sekalipun ada
dalam teori.
2)
Mashlahah al mursalah
Yaitu mashlahah
yang tidak didukung dalil nash secara rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan
makna nash (ayat atau hadits).
C. Mashlahah Mursalah dan Kehujjahannya
1.
Arti Mashlahah Mursalah
Mashlahah mursalah
merupakan gabungan dua kata yang hubungan keduanya bersifat sifat-maushuf, atau
dalam bentuk khusus yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari al
mashlahah. Tentang arti mashlahah sendiri telah dijelaskan diatas. Al mursalah
secara bahasa artinya terlepas atau bebas. Kata terlepas atau bebas disini jika
dihubungkan dengan kata mashlahah maksudnya terlepas atau bebas dari keterangan
yang menunjukkan boleh atau tidaknya dilakukan. Sementara secara terminologis,
terdapat beberapa rumusan yang mendefinisikan mashlahah mursalah ini, namun masing-masing
memiliki kesamaan yang berdekatan pengertiannya.
a.
Al Ghazali, mendefinisikan
mashlahah mursalah sebagai apa-apa (mashlahah) yang tidak ada bukti baginya dan
syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang
memperhatikannya.
b.
Al Syaukani, mendefinisikan
mashlahah mursalah sebagai mashlahah yang tidak diketahui apakah syara’
menolaknya atau memperhitungkannya.
c.
Ibnu Qudamah,
mendefinisikan mashlahah mursalah sebagai mashlahah yang tidak ada bukti
petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak pula yang memperhatikannya.
d.
Jalal al Din al Rahman
mendefinisikan mashlahah mursalah sebagai mashlahah yang selaras dengan tujuan
syara’ dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang penolakan atau
pengakuannya.
e.
Muhammad Abu Zahrah
mendefinisikan mashlahah mursalah sebagai mashlahah yang sesuai dengan tujuan
syariat Islam dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan pengakuan atau
penolakannya.
Dari beberapa
definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat mashlahah mursalah
sebagai berikut:
a.
Ia adalah sesuatu yang baik
menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan
keburukan bagi manusia.
b.
Apa yang baik menurut akal
itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
c.
Apa yang baik menurut akal
dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara
khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya.[3]
Adapun yang
menjadi objek mashlahah mursalah adalah kejadian atau peristiwa yang perlu
ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan
dasarnya. Prinsip yang disepakati oleh kebanyakan pengikut mazhab yang ada
dalam fiqh, menurut Imam Al Qarafi Ath Thusi menjelaskan bahwa mashlahah
murasalah itu sebagai dasar untuk menetapkan dalam bidang muamalah dan
semacamnya, sedangkan dalam soal ibadah adalah Allah SWT yang menetapkan
hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah ibadah
itu.
2.
Kehujjahan Mashlahah
Mursalah
a.
Ulama Malikiyah dan
Hanabilah menerima mashlahah murshalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum,
bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas
penerapannya. Untuk menjadikan mashlahah murshalah sebagai dalil, keduanya
mensyaratkan:
1)
Kemashlahatan itu sejalan
dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemashlahatan yang didukung
nash secara umum
2)
Kemashlahatan itu bersifat
rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan
melalui mashlahah murshalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan
menghindarkan madharat
3)
Kemashlahan itu menyangkut
kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil
tertentu.
b.
Golongan Syafi’iyah pada
dasarnya juga mendasarkan mashlahah murshalah sebagai salah satu dalil syara’.
Akan tetapi Imam Asy Syafi’i memasukkannya dalam qiyas. Al Ghazali mensyaratkan
kemashlahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbathkan hukum, antara
lain:
1)
Mashlahah itu sejalan
dengan jenis tindakan-tindakan syara’
2)
Mashlahah itu tidak
meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’
3)
Mashlahah itu termasuk
kedalam kategori yang dharuri, baik yang menyangkut kemashlahatan pribadi
maupun kemashlahatan orang banyak dan universal, yang berlaku sama untuk semua
orang.[4]
c.
Jumhur ulama menerima
mashlahah murshalah sebagai istinbath hukum dengan alasan:
1)
Hasil induksi terhadap ayat
atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemashlahatan bagi umat
manusia dalam hubungan ini Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ
Artinya: “Kami
tidak mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh
manusia.” QS Al Anbiya 107
Menurut jumhur ulama, Rasulullah menjadi rahmat
juga dalam rangka memenuhi kemashlahatan umat manusia. Selanjutnya ketentuan
dalam ayat-ayat Al-Quran dan sunnah
Rasulullah , seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemashlahatan umat manusia, di dunia dan di akhirat. Oleh
sebab itu, memberlakukan mashlahah terhadap sumber hukum lain yang juga
mengandung kemashlahatan adalah legal.
2)
Kemashlahatan manusia akan
senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka
sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan
membawa kesulitan.
3)
Jumhur ulama’ juga
beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar bin
Khattab tidak memberi bagian zakat kepada para muallaf, karena menurut Umar,
kemashlahatan orang banyak menuntut untuk hal itu. Abu Bakar mengumpulkan nash
al-Quran menurut saran dari Umar, sebagai salah satu kemashlahatan untuk
melestarikan al-Quran dan menuliskan al-Quran pada satu logat bahasa di zaman Utsman
bin Affan demi memelihara tidak terjadinya perbedaan bacaan al-Quran itu
sendiri. [5]
D. Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Mashlahah Mursalah
Selain beberapa
ulama yang menggunakan mashlahah mursalah sebagai dalil, ada pula beberapa
ulama fiqh yang menolaknya. Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa mashlahah
mursalah tidak sah menjadi landasan hukum dalam bidang ibadah, karena bidang
ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya diwariskan oleh Rasulullah. Namun
merekaa berbeda pendapat dalam bidang muamalat. Kalangan Zahiriyah, sebagian
dari kalangan Syafi’iyah dan Hanafiyah tidak mengakui mashlahah mursalah
sebagai landasan pembentukan hukum, dengan alasan yang dikemukakan Abdul Karim
Zaidan antara lain:
1.
Allah dan Rasulnya telah
merumuskan ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin segala bentuk kemashlahatan
manusia. Menetapkan hukum berdasarkan mashlahah mursalah, berarti menganggap
syariat Islam tidak lengkap karena menganggap masih ada mashlahah yang belum
tertampung oleh hukum-hukum-Nya. Hal seperti itu bertentangan dengan ayat 36
surat al Qiyamah:
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
Artinya: “Apakah manusia
mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?”
2.
Membenarkan mashlahah
mursalah sebagai landasan hukum berarti membuka pintu bagi berbagai pihak untuk
menetapkan hukum menurut seleranya dengan alasan untuk meraih kemashlahatan.
Praktik seperti itu akan merusak citra agama.[6]
3.
Seandainya dibolehkan
berijtihad dengan mashlahah yang tidak mendapat dukungan dari nash, maka akan
memberi kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’ karena alasan berubahnya
waktu dan berlainannya tempat berlakunya hukum syara’, juga karena berlainan
antara seorang dengan yang lain. Dalam keadaan demikian tidak akan ada
kepastian hukum. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang
universal dan lestari serta meliputi semua umat Islam.
Dengan
alasan-alasan tersebut mereka menolak mashlahah mursalah sebagai landasan
penetapan hukum. Berbeda dengan itu, kalangan Malikiyah dan Hanabilah, serta
sebagian dari kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa mashlahah mursalah secara
sah dapat dijadikan landasan penetapan hukum. Diantara alasannya adalah:
1.
Syariat Islam diturunkan
bertujuan untuk merealisasikan kemashlahatan dan kebutuhan umat manusia.
Kebutuhan manusia yang selalu berkembang tidak mungkin dirinci seluruhnya dalam
al Quran dan sunnah. Namun secara umum
syariat Islam telah memberi petunjuk bahwa tujuannya adalah untuk memenuhi
kebutuhan umat. Oleh sebab itu, apa-apa yang dianggap mashlahah selama tidak
bertentangan dengan al Quran dan sunnah, maka sah dijadikan landasan hukum.
2.
Adanya takrir Nabi atas
penjelasan Mu’adz bin Jabal yang akan menggunakan ijtihad bil ra’yi jika tidak
menemukan ayat al Quran dan sunnah Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum.
Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau sesuatu yang
dianggap mashlahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebani untuk mencari
dukungan nash.
3.
Para sahabat dalam
berijtihad menganggap sah mashlahah mursalah sebagai landasan hukum tanpa ada
seorang pun yang membantah. Dimana pada praktiknya tidak pernah dicontohkan
oleh Rasulullah, tetapi perlu dilakukan.
4.
Suatu mashlahah bila telah
nyata kemashlahatannya dan telah sesuai dengan tujuan syara’, maka menggunakan
mashlahah tersebut berarti telah memenuhi tujuan syara’, meskipun tidak ada
dalil khusus yang mendukungnya.
5.
Bila dalam keadaan tertentu
untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan
mashlahah mursalah maka akan menempatkan umat dalam kesulitan. Padahal
Allah sendiri menghendaki kemudahan untuk hamba-Nya dan menjauhkan dari
kesulitan.
Bila diperhatikan
perbedaan pendapat dengan argumen masing-masing ulamayang menerima dan menolak
metode mashlahah mursalah dalam ijtihad, tampaknya tidak ada perbedaan secara
prinsip. Kelompok yang menerima tidak menerima secara mutlak bahkan menetapkan
syarat yang berat. Dengan adanya persyaratan seperti itu, adanya kemungkinan
mashlahah mursalah akan disalah gunakan oleh berbagai pihak dapat dihindarkan.
Sedangkan yang menolak, dasar penolakannya adalah kekhawatiran akan kemungkinan
tergelincir pada kesalahan jika menetapkan hukum sesuka hati, seandainya
kekhawatiran ini dapat dihindarkan, umpamanya telah ditemukan garis kesamaan
dengan prinsip asal, mereka juga akan menggunakan mashlahah mursalah.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pengertian mashlahah dalam
bahasa Arab berarti perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam
artinya yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik
dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan, atau
dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemadharatan. Sementara
secara terminologi bahwa mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh
akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan bagi
manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
2.
Mashlahah diklasifikasikan
dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum dibagi menjadi Mashlahah
Dharuriyah, Mashlahah Hajiyah, dan Mashlahah Tahsiniyah. Dari segi
kandungan mashlahah dibagi menjadi Mashlahah al Ammah, dan Mashlahah al Khashshah. Dari segi
berubah atau tidaknya mashlahah dibagi menjadi Mashlahah al Tsabitah,
dan Mashlahah al Mutaghayyirah. Dari segi adanya keserasian dan
kesejalanan antara akal dan tujuan syara’ dibagi menjadi Mashlahah al
Mu’tabarah yang terdiri dari Munasib mu’atstsir, Munasib mulaim;
Mashlahah al Mulghah; dan Mashlahah al Mursalah yang terdiri dari
Mashlahah al gharibah dan Mashlahah al Mursalah.
3.
Mashlahah mursalah adalah
4.
Perbedaan pendapat ulama
dalam menerima dan menolak mashlahah mursalah
DAFTAR PUSTAKA
Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Kencana, cet. 6 2011)
Nasrun
Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, cet. 5
2014)
[1]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Kencana, cet. 6 2011) h.
345-347.
[2]
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) h.
116-117.
[3]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2. h. 354-356
[4] Kamus
Ushul Fiqh
[5] Nasrun
Haroen, Ushul Fiqh 1. h.123-124
[6]
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, cet. 5 2014) h. 150-151.
[7]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2. h. 360-363
Tidak ada komentar:
Posting Komentar