MAKALAH ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Disusun Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ilmu Pendidikan
Dosen Pengampu : Toha Mahsun, S.Pd.I, M.Sy
Oleh
:
1. APRILIANA
2. AQIM DURROTUL AIMAH
3. DEWI MARTALIA KURNIASARI
PROGAM STUDY MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM DARUSSALAM
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran kehadiran
Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W yang diutus sebagai rahmat untuk sekalian
alam dan membimbing umat ke jalan yang lurus.
Ribuan terima kasih kami ucapkan
kepada :
1.
Bapak Toha Mahsun, S.Pd.I, M.Sy yang telah memberikan pengarahan
atas terselesaikannya makalah ini.
2.
Pihak-pihak yang membantu kami dalam menyelesaikan laporan
ini.
3.
Teman-teman semester II.
Makalah ini disusun sebagai pemenuhan tugas mata
kuliah Ilmu
Pendidikan. Kami
menyadari tentunya makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya kami senantiasa mengharap adanya
kritik dan saran guna perubahan yang lebih baik kedepannya. Kendati demikian, kami
berharap makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Akhir kata,
permohonan maaf kami haturkan atas segala kekurangan dalam makalah ini.
Krempyang,
7 Januari 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... i
KATA
PENGANTAR ....................................................................................................... ii
DAFTAR
ISI ..................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang ....................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah ................................................................................... 1
C.
Tujuan Pembahasan ................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Sejarah Munculnya Pendidikan Multikultural......................................... 2
B.
................................................................................................................ 4
C.
................................................................................................................. 5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 8
B. Saran ........................................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 9
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wacana tentang pendidikan multikultural di Indonesia telah
digaungkan oleh para pakar pendidikan sejak tahun 2000 melalui berbagai media
seperti simposium, workshop, media massa, dan buku. Hal ini didasari oleh
adanya fakta bahwa Indonesia merupakan negara yang mempunyai banyak problem
tentang ekstensi sosial, etnik, dan kelompok keagamaan yang beragam. Terlebih
ketika masa Orde Baru, pemerintah seperti mengabaikan perbedaan yang ada dan
adanya semangat Bhineka Tungal Ika diterapkan lebih kepada ke-ika-annya
dibanding ke-bhineka-annya. Penerapan yang timpang ini juga terjadi pada konsep
dan praktik pendidikan di Indonesia.
Kondisi pendidikan di Indonesia seperti
yang digambarkan di atas, menurut para pakar tidak memadai lagi untuk mewadahi
masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural. Oleh karenanya, diperlukan
transformasi paradigma pendidikan di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dari latar
belakang diatas dapat ditarik beberapa masalah yaitu:
1.
Bagaimana pengertian
pendidikan multikultural secara etimologis dan terminilogis?
2.
Bagaimana sejarah munculnya
pendidikan multikultural?
3.
Bagaimana karakteristik dan
dimensi pendidikan multikultural?
4.
Bagaimana pendekatan dalam
proses pendidikan multikultural?
5.
Apa saja hambatan dalam
pelaksanaan pendidikan multikltural?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan
makalah ini yaitu:
1.
Memahami pengertian
pendidikan multikultural secara etimologis dan terminologis.
2.
Mengetahui sejarah
munculnya pendidikan multikultural.
3.
Mengetahui karakteristik
dan dimensi pendidikan multikultural.
4.
Mengetahui pendekatan dalam
proses pendidikan multikultural.
5.
Mengetahui hambatan dalam
pelaksanaan pendidikan multikultural.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Multikultural Secara Etimologis dan
Terminologis
L.H. Ekstrand
menyebutkan empat istilah yang sepadan dengan istilah pendidikan multikultural,
yaitu: interethnic education, transcultural education, multienthnic
education, dan cross cultural education. Selain itu, Barry van Driel
juga mengemukakan dua istilah lain yaitu human right education, dan intercultural
education, sementara UNESCO memperkenalkan istilah yang mereka sebut dengan
inclusive education.
Beberapa istilah
diatas menurut Ekstrand dan Diel memiliki pengertian yang sama, yaitu konsep pendidikan
yang memberikan kesempatan yang setara kepada semua peserta didik se dangkan istilah yang lazim digunakan di
berbagai negara adalah intercultural education, multicultural education, dan
inclusive education.
Secara
etimologis, istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua kata, yaitu
pendidikan dan multikultural. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses
pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan,
dan cara-cara mendidik. Sementara kata multikultural diartikan sebagai
keragaman budaya sebagai bentuk dari keragaman latar belakang seseorang. Dengan
demikian secara etimologis pendidikan mulikultural dapat diartikan sebagai
pendidikan yang memperhatikan keragaman budaya para peserta didik.
Adapun secara
terminologis, definisi pendidikan multikultural dapat dijadikan dua kelompok
yaitu: (1) definisi yang dibangun berdasarkan prinsip demokrasi, kesetaraan,
dan keadilan, serta (2) definisi yang dibangun berdasarkan sikap sosial seperti
pengakuan, penerimaan, dan penghargaan. Definisi pertama dapat dipahami sebagai
konsep pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta
didik. Adapun definisi yang dibangun berdasarkan sikap sosial merupakan
pendidikan yang membantu para peserta didik untuk mengembangkan kemampuan
mengenal, menerima, menghargai, dan merayakan keragaman kultural. Hal ini
berimplikasi pada cita-cita luhur manusia untuk membangun kehidupan yang
harmonis, aman, dan nyaman.[1]
B. Sejarah Munculnya Pendidikan Multikultural
Gagasan tentang
pentingnya pendidikan multikultural mulai mengemuka pada tahun 1970-an di
Amerika, di antara sumber yang sedikit dan memberi informasi tentang hal ini adalah Encyclopedia of
Wikipedia dengan judul American Civil Rights Movement (1955-1968). Sumber
ini memberi informasi bahwa kemunculan pendidikan multikultural di Amerika
tidak dapat dilepaskan dengan peristiwa gerakan hak-hak sipil yang terjadi pada
tahun 1960-an gerakan ini muncul dilatar belakangi oleh adanya praktik
kehidupan diskriminatif, baik di tempat publik, tempat kerja, maupun lembaga
pendidikan yang dilakukan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas.
Praktik
pendidikan yang diskriminatif ini menuai protes dari para tokoh gerakan hak-hak
sipil dan lembaga-lembaga ilmiah. Sehingga wacana tentang pendidikan
multikultural ini terus bergulir hinga akhir abad ke-20, dimana kini pendidikan
multikultural tidak hanya diwacanakan melainkan juga dipraktikkan di lembaga
pendidikan di Amerika.
Wacana pendidikan
multikultural ini pada pekembangan berikutnya juga menggema di negara-negara
Eropa seperti Belgia, Jerman, Perancis, Inggris, Belanda, dan Swedia. Dimana di
negara-negara tersebut setelah perang dunia II terjadi gelombang imigran yang
luar biasa besar sehingga pluralitas penduduknya tidak dapat dihindari,
sehingga mendorong adanya pesamaan hak
dan kewajiban antara penduduk asli dengan imigran yang sudah memiliki
status kewarganegaraan yang sah.
Gema wacana
pendidikan multikultural ternyata juga berhembus sampai ke Indonesia. Sejak
tahun 2000, para pakar pendidikan gencar melaksanakan seminar, workshop, maupun
diskusi, yang kemudian disusul dengan penelitian dan penerbitan buku dan jurnal
bertema multikulturalisme. Beberapa isu yang diangkat dalam penelitian seperti
halnya demokrasi, hak asasi manusia, kewarganegaraan, pendidikan, nasionalisme,
konflik sosial, problem identitas dan etnisitas, dan lain-lain.
Munculnya gagasan
ini dilatar belakangi dengan adanya fakta bahwa Indonesia adalah negara
kepulauan dengan banyak problem eksistensi sosial, etnik, dan kelompok
keagamaan yang beragam. Terlebih ketika masa Orde Baru, pemerintah seperti
mengabaikan perbedaan yang ada dan adanya semangat Bhineka Tungal Ika pun diterapkan
lebih kepada ke-ika-annya dibanding ke-bhineka-annya. Penerapan yang timpang
ini juga terjadi pada konsep dan praktik pendidikan di Indonesia.
Ada beberapa
indikator yang menunjukkan adanya penekanan semangat ke-ika-an dalam praktik
pendidikan di Indonesia seperti: (1) terjadinya penyeragaman kurikulum dan
metode pembelajaran, (2) terjadi sentralisasi dalam pengelolaan pendidikan,
yang sarat dengan instruksi, petunjuk, dan pengarahan dari atas, sebagai akibat
dari paradigma pendidikan sentralistik, dan (3) belum adanya proses menghargai
dan mengakomodasi perbedaan latar belakang peserta didik yang menyangkut
budaya, etnik, bahasa, dan agama. [2]
Wacana pendidikan
multikultural di Indonesia juga disebarkan oleh penulis melalui media massa.
Banyak tulisan yang beredar di jurnal, surat kabar, dan majalah yang intinnya
mengusulkan agar diterapkannya pendidikan multikultural di Indonesia. Mereka
memandang bahwa dalam masyarakat yang multikultural, penerapan pendidikan
multikultural merupakan suatu keharusan yang sangat mendesak. Bagi mereka
pendidikan multikultural dapat mendidik
peserta didik untuk menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa
membeda-bedakan budaya, etnik, gender, bahasa, maupun agama. Mata pelajaran
yang dapat dijadikan sarananya antara lain Bahasa Indonesia dan Pendidikan Seni
Nusantara.[3]
Tuntutan terhadap
penerapan pendidikan multikultural ini mendapat respon yang positif dari pihak
eksekutif dan legislatif. Hal ini terbukti dengan disahkannya undang-undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
mengakomodasi nilai-nilai hak asasi manusia dan semangat multikultural. Bahkan
nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan
Pendidikan Nasional, sebagaimana termaktub dalam Bab III pasal 4:
“Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa.”
C. Paradigma
Pendidikan Multikultural
Dalam buku Paradigma
Pendidikan Universal, Ali Maksum
menggambarkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat
majemuk atau plural. Kemajemukan ini dapat dilihat dari sisi kesukuan, agama,
bahasa, budaya, maupun dari sisi sosial seperti tingkat ekonomi dan pendidikan.
Dengan adanya kemajemukan ini tentu mempunyai dampak baik positif maupun
negatif.
Oleh karena itu
diperlukan adanya paradigma baru yang lebih toleran berupa paradigma pendidikan
multikultural. Hal ini dimaksudkan agar kita hendaknya lebih apresiatif
terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keberagaman adalah kekayaan dari
bangsa. Dengan adanya pandangan tersebut diharapkan sikap eksklusif yang ada
dalam diri kita dan sikap membenarkan diri sendiri dapat dihilangkan atau
diminimalisir.
Pendidikan
multikultural biasanya memiliki ciri-ciri:
1.
Tujuannya membentuk
“manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”
2.
Materinya mengajarkan
nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kultural.
3.
Metodenya demokratis, yang
menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa.
4.
Evaluasinya ditentukan pada
penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi,
dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Peneguhan untuk
berjalannya pendidikan multikultural ini dimaksudkan untuk membuka kesadaran
bahwa multikulturalisme sebagaimana menurut Goodenough, adalah pengalaman
normal manusia. Ia hadir dalam realitas empiris, sehingga harus diupayakan
secara sistematis, progamatis, terintegrasi, dan berkesinambungan.
Dalam menjalankan
pendidikan multikultural harus dikembangkan prinsip solidaritas, yakni kesiapan
untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan, bukan
demi dirinya sendiri. Dengan demikian kehidupan multikultural yang dilandasi
kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain akan segera
terwujud.[4]
D. Karakteristik dan Dimensi Pendidikan Multikultural
Dengan memperhatikan
definisi-definisi yang telah dikemukakan sebelumnya dapat diperoleh tiga karakteristik
pendidikan multikultural, yaitu:
1.
Berprinsip pada Demokrasi,
Kesetaraan, dan Keadilan.
Prinsip
demokrasi, kesetaraan, dan keadilan merupakan prinsip yang mendasari pendidikan
multikultural, baik pada level ide, proses, maupun gerakan. Ketiga prinsip ini
menggaris bawahi bahwa semua anak memiliki hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan. Ketiga prinsip ini sejalan dengan program UNESCO tentang education
for all (EFA), yaitu program pendidikan yang memberikan peluang yang sama
kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan. Bagi UNESCO, EFA merupakan
jantung kegiatan utama dari kegiatan pendidikan yang dilakukan selama ini.
Hal
ini tidak hanya sebatas pada persamaan kesempatan, namun juga persamaan
perlakuan dalam proses belajar, tanpa membedakan SARA maupun kapasitas
intelektual peserta didik.
2.
Berorientasi pada
Kemanusiaan, Kebersamaan, dan Kedamaian.
Untuk mengembangkan ketiga prinsip yang telah
disebutkan diatas, diperlukan orientasi hidup yang universal. Orientasi pertama
yaitu kemanusiaan atau humanity sebagai nilai yang menempatkan
peningkatan pengembangan manusia,
keberadaannya, dan martabatnya seebagai pemikiran dan tindakan manusia yang
tertinggi. Orientasi yang kedua yaitu kebers amaan atau co-operation sebagai
nilai yang mendasari terjadinya hubungan antar individu, individu dengan
komunitas, maupun antar komunitas dimana
terdapat kesatuan perasaan dan sikap dari individu yang berbeda-beda. Orientasi
yang ketiga yaitu kedamaian atau peace yang dapat diwujudkan dengan
menghindari terjadinya kekerasan, peperangan, dan tindakan mementingkan diri
sendiri dan dengan cara menghadirkan keadilan.
3.
Mengembangkan Sikap
Mengakui, Menerima, dan Menghargai Keragaman.
Untuk
mengembangkan orientasi hidup yang universal di tengah masyarakat yang majemuk
diperlukan sikap sosial yang positif. Pengakuan, penerimaan, dan penghargaan
merupakan sikap sosial yang diperlukan dalam membangun hubungan yang harmonis.[5]
Sementara itu, James Banks
(1944) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi
yang saling berkaitan satu sama lainnya, yaitu:
1.
Content Integration, yaitu
mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep
mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran / disiplin ilmu.
2.
The knowledge construction
process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam
sebuah mata pelajaran.
3.
An equity paedagogy, yaitu
menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka
memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya,
maupun sosial.
4.
Prejudice reduction, yaitu
mengidentifikasi karakteristik latar belakang siswa dan menentukan metode
pengajaran mereka. Kemudian melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan, berinteraksi dengan seluruh unsur pendidikan dalam upaya menciptakan
budaya akademik yang toleran dan inklusif.[6]
E.
Pendekatan dalam Proses
Pendidikan Multikultural
Terdapat
beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:
1.
Perubahan paradigma dalam
memandang pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal, dalam
kaitan ini mengenai proporsi tanggung jawab pendidik, dimana harusnya taggung
jawab tadi tidak semata berada pada pendidik karena terdapat pula program
sekolah yang terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
2.
Menghilangkan pandangan
yang mengidentikkan suatu kebudayaan dengan etnik tertentu, dan meningkatkan
eksplorasi pemahaman yang lebih baik mengenai kesamaan dan perbedaan di
kalangan peserta didik dari berbagai kelompok etnik.
3.
Pengembangan kompetensi
dalam suatu kebudayaan baru biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan
orang-orang yang berkompeten.
4.
Pendidikan multikultural
meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Adapun kebudayaan mana yang
akan diadopsi itu ditentukan oleh situasi di sekitarnya.
5.
Pendidikan multikultural
meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Hal ini
akan menjauhkan kita dari konsep dwi- budaya atau dikotomi antara pribumi dan
non-pribumi. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural
berpotensi untuk menghindari dikotomi dan me ngembangkan apresiasi yang lebih
baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta didik.[7]
F.
Hambatan-Hambatan dalam
Implementasi Pendidikan Multikultural
Dalam
menerapkan pendidikan multikultural di sekolah terdapat kemungkinan adanya
hambatan seperti berikut:
1.
Perbedaan Pemaknaan
terhadap Pendidikan Multikultural
Perbedaan
pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam penerapannya. Multikultural
seringkali dimaknai multi etnis, padahal pengertian multikultural lebih luas
dari itu. H.A.R Tilaar menyebutkan bahwa pendidikan multikultular tidak hanya
berkaitan dengan masalah etnis, agama, dan budaya, melainkan mencakup arti dan
tujuan untuk mencapai sikap toleransi, menghargai keragaman dan perbedaan,
menghargai HAM, dan lain-lain.
2.
Munculnya Gejala
Diskontinuitas
Dalam
pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan
kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Hal ini dikarenakan
perbedaan latar belakang sosiokultural di masyarakat dan di sekolah sangat
berbeda sehingga memungkinkan adanya kesulitan untuk beradaptasi. Peran seluruh
unsur pelaku pendidikan diperlukan untuk menjaga kontinuitas ini terkait
dengan menciptakan konsistensi dalam
menyediakan situasi yang mendukung proses belajar dan terpeliharanya
kontinuitas budaya antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.
3.
Rendahnya Komitmen Berbagai
Pihak
Pelaksanaan
pendidikan multikultural memerlukan komitmen yang kuat dari berbagai komponen
pendidikan di sekolah selain kesamaan pemahaman tentang hal tersebut. Jika
seluruh komponennya memahami arah dan tujuan pendidikan multikultural untuk mancapai
masyarakat madani maka komitmen untuk melaksanakan pendidikan multikultural
akan mudah dicapai.
4.
Kebijakan yang Mengarah
pada Keseragaman
Sejak
lama kebijakan pendidikan maupun konsep-konsepnya selalu diseragamkan atau
bersifat sentralis. Hal ini menyebabkan sulitnya pelaku pendidikan
menghargai perbedaan. Sehingga
pelaksanaan pendidikan multikultural sering kali dianggap kurang penting.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Aly,
2011, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Choirul Mahfud,
2014, Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Iis Arifudin,
“Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah,” Jurnal Pemikiran
Alternatif Pendidikan, 12:2, (Purwokerto, Mei-Agustus 2007)
[1] Abdullah
Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011) 103-108.
[2] Ibid.,
hlm. 3.
[3] Ibid.,
hlm. 100.
[4] Choirul
Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014).,184-191.
[5] Abdullah
Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011) 109-124.
[6] Choirul
Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014).,
177-8.17
[7] Ibid.,
hlm. 191-193
[8] Iis
Arifudin, “Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah,” Jurnal
Pemikiran Alternatif Pendidikan, 12:2, (Purwokerto, Mei-Agustus 2007), 5-7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar