PROSES TERJADINYA KONFLIK
Makalah
DisusunGunaMemenuhiTugas
Mata KuliahManajemenKonflik
Dosen Pengampu :
IdamMustofa, M.Pd.
DisusunOleh:
1.
Iva MiftahulJannah
2.
NofitaDiahAyuPuspitasari
PROGRAM STUDI
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAMJURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM DARUSSALAM
KREMPYANG TANJUNGANOM
NGANJUK
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah SWT.Yang senantiasa memberikan petunjuk, bimbingandaninayah-Nya, sehingga
kami dapatmenyelesaikan tugas makalah yang berjudul“PROSES KONFLIK”.
Sholawat serta
salam keharibaan Nabi Muhammad SAW yang menganjurkanumatnyauntukmengajar,
belajardanmendengarsertamenekankanbahwamenuntutilmumerupakankewajibanbagisetiapmuslim.
Denganterselesaikannyamakalahini,
kami mengucapkanterimakasihkepada :
1. IdamMustofa, M.P.d ,selakudosenpengampu.
2. Orang tua kami yang
senantiasamemberido’asertadukungankepada kami.
3. Pihak-pihak lain yang
turutmembantuterselesaikannyamakalahini.
Kami
menyadaribahwamakalahinimasihjauhdarisempurna.Olehsebabitu, saran dankritik
yang bersifatmembangunsangat kami harapkan demi kesempurnaanmakalahini.
Krempyang,
24 Januari 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan Pembahasan............................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Asumsimengenaikonflik...................................................................... 2
B. Kekuasaandanproses
konflik............................................................... 4
C. Model
proses konflik........................................................................... 7
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan............................................................................................ 12
B.Saran...................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik merupakan salah satu esensi
dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakteristik yang
beragama. Manusia mempunyai perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi,
sistem hukum, bangsa, suku, agama, kepercayaan, aliran, politik, serta budaya
dan tujuan hidupnya. Manusia tidak dapat bisa lepas dari
konflik. Selama
masih ada perbedaan yang terjadi konflik tidak dapat dihindari dan selalu akan terjadi.
Konflik selalu terjadi di dunia,
dalam sistem sosial yang bernama negara, bangsa, organisasi, perusahaan dan
bahkan dalam sistem sosial terkecil yang bernama keluarga dan pertemanan.
Konflik terjadi di masa lalu, sekarang dan pasti akan terjadi di masa depan.
Dengan demikian manusia selalu dihadapkan pada konflik selama hidupnya, untuk
itu kita harus memahami apa itu konflik dan bagaimana langkah-langkah agar
dapat terbebas dari konflik tersebut. Makalah ini akan membahas mengenai proses terjadinya konflik.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah asumsi mengenai konflik ?
2.
Bagaimana kekuasaan dan proses konflik?
3.
Apa saja model proses konflik?
C. Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui
asumsi
mengenai
konflik.
2.
Untuk mengetahui kekuasaan dan proses koflik.
3.
Untuk mengetahui model proses konflik.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Asumsi Mengenai Konflik
Teori
konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.
Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini
adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai
merebak. Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat
kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar
tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana
dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal dan kelas pekerja miskin sebagai
kelas proletar. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural
fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan
dalam masyarakat.[1]
Asumsi
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti budaya, agama, pendidikan, pengalaman
menghadapi konflik, dan lain-lain. Secara umum, asumsi orang dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis, antara lain:[2]
1.
Konflik Buruk dan Merusak
Banyak
orang berpendapat bahwa konflik merupakan sesuatu yang buruk, baik, dan
merusak. Stephen P. Robbis (1992) menyebut asumsi sebagai pandangan
tradisional (traditional poin of view). Mereka menyatakan konflik
sebagai sesuatu yang merusak mengasosiasikan konflik dengan sesusuatu yang
negatif, antara lain:[3]
a.
Konflik buruk
b.
Konflik merusak
c.
Konflik sama dengan kekuasaan dan agresi
d.
Konflik emosional dan irasional
e.
Konflik membuang energy dan sumber-sumber energi
f.
Konflik merupakan penyebab stes dan frustasi
g.
Konflik ancaman
2.
Konflik Netral
Konflik
merupakan kejadian alami dan fenomena manusia yang tidak bisa dihindari.
Manusia memang di ciptakan dengan sifat-sifat yang bertentangan satu sama
lain. Manusia mempunyai
persepsi dan pendapat yang berbeda mengenai sesuatu yang sama. perbedaan
persepsi dan pendapat ini merupakan sumber konflik. konflik tiak bisa di
hindari dan terbukti menghasilkan sesuatu yang baik di samping sesuatu yang
buruk. Konflik tidak baik dan tidak juga buruk . baik buruknya konflik tergantung bagaimana
cara seseorang memanajemeninya. jika di manajemeni dengan baik, konflik akan
menghasilkan sesuatu yang baik. Sebaliknya, jika di manajemeni dengan buruk,
konflik akan menghasilkan sesuatu yang buruk. Pemimpin dan manajer berasumsi
bahwa konflik netral akan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap terjadinya
kinflik.[4]
Konflik dapat dikatakan sebagai gambaran tentang terjadi perselisihan,
ketegangan, dan pertentangan sebagai akibat dari perbedaan yang muncul dalam
kehidupan masyarakat, baik perbedaan secara individual maupun perbedaan
kelompok.[5]
3.
Konflik Baik dan Diperlukan
Sebagai
pemimpin dan menejer menganggap baik dan diperlukan. Konflik di perlukan untuk
menciptakan perubahan dan kemajuan. Konflik merupakan proses tesis, antithesis,
dan sintesis. Stephen P. Robbins berpendapat konflik yang baik dan membangun
sesuatu yang baru akan mengancurkan para pemimpin dan menejer untuk meneruskan
konflik yang sedang terjadi – secara minimal- untuk mendorong kreatifitas dan
kritik diri. Konflik merupakan proses untuk mengembangkan kreatifitas dan inovasi
para anggota tim. Konflik yang terjadi di manajemeni dengan baik dan di arahkan
menjadi konflik konstruktiv untuk menciptakan pembelajaran organisasi.[6]
Dari
berbagai asumsi mengenai konflik dapat dipahami bahwa kelompok tradisional
memandang konflik sebagai pengganggu keselarasan dan keharmonisan kehidupan. Kelompok lain memandang bahwa konflik adalah suatu yang
tidak bisa dihindar dan harus dijalani didalam kehidupan. Di lain pihak ada kelompok yang
memandang konflik adalah sangat diperlukan karena konflik
digunakan untukk menciptakan kemajuan dan perubahan. Penulis sendiri berpendirian bahwa
konflik sangatlah penting disamping konflik sebagai pembangun sesuatu yang baru dan akan membuat seseorang mampu
untuk pengembangan dirinya.
B.
Kekuasaan dan Proses Konflik
1. Kekuasaan
dan Konflik
Menurut
Wirawan, salah satu
tenaga penggerak perubahan peradaban umat manusia adalah kekuasaan atau social power. Tanpa kekuasaan, pemimpin
tidak dapat melaksanakan fungsinya. Akan tetapi, penyalahgunaan kekuasaan akan
membuat pemimpin dibenci orang karena dapat menyengsarakan umat manusia. Untuk
memahami peran kekuasaan dalam konflik, perlu dipahami sifat-sifat kekuasaan,
yaitu:[7]
a. Kekuasaan itu abstrak tidak
terlihat. Kekuasaan hanya terlihat pada jabatan, pangkat serta kemampuan untuk
membuat sesuatu, menyelesaikan masalah dan mengkomunikasikan sesuatu. Walaupun
tidak terlihat, jika digunakan dapat menimbulkan akibat yang menyenangkan atau
tidak menyenangkan.
b. Kekuasaan bukan milik individu,
tetapi milik interaksi sosial. Artinya seorang pemimpin atau
manajer tidak mempunyai kekuasaan terhadap orang lain yang tidak berinteraksi
dengannya.
c. Kekuasaan
bisa diperoleh dan bisa diperbesar atau bertambah jumlahnya, berkurang atau
bahkan hilang. Seseorang dapat memperoleh kekuasaan jika
dikehendakinya. Dengan mendapatkan suatu jabatan baru, kekuasaan, wewenang atau
otoritasnya bertambah.
d. Kekuasaan netral tidak baik dan
tidak juga buruk. Baik buruk kekuasaan tergantung pada pemegang
kekuasaan (power helder atau power bewilder)yang menggunakannya.
e. Pemegang kekuasaan cenderung
menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri, keluarga, kroni atau
teman-temannya.
Kekuasaan itu netral, artinya tidak baik dan tidak juga buruk. Baik
buruknya kekuasaan tergantung pada pemegang kekuasaan. Jika kekuasaan berada
ditangan kekuasaan yang baik, kekuasaan menjadi baik. Sebaliknya jika kekuasaan
berada ditangan kekuasaan yang buruk, kekuasaan menjadi buruk.
Kekuasaan
banyak jenisnya dan tergantung pada sumbernya. Dan menurut sumbernya, kekuasaan
dapat dikelompokkan menjadi:[8]
a. Kekuasaan yang sah, otoritas atau
wewenang (legitiate power –authority). Seseorang mempunyai wewenang karena
dipilih secara sah untuk menduduki suatu jabatan.dengan kekuasaan tersebut, ia
mempunyai kewajibann untuk melakukan sesuatu dan mempunyai hak untuk memberi
perintah kepada bawahanya.
b. Kekuasaan imbalan (reward power). Kekuasaan
untuk memberikan atau tidak memberikan sesuatu.
c. Kekuasaan paksa (coercive power). Kekuasaan
untuk memaksa penerima kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
d. Kekuasaan keahlian (expert power). Kekuasaan
karena memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang tertentu. Jadi, ia dapat membuat sesuatu atau menyelesaikan sesuatu.
e. Kekuasaan rujukan (referent power). Kekuasaan
karena memiliki keunggulam fisik atau psikologis sehingga orang lain akan
menirunya atau menjadi rujukan.
f. Kekuasaan informasi (information
power). Betram Raven dan W. Kruglansk (Wirawan, 2003) mengidentifikasikan jenis
kekuasaan ini sebagai kepemilikan informasi yang diperlukan oleh orang lain yang tidak
memilikinya.
g. Kekuasaan koneksi (connection
power). Kekuasaan karena mempunyai koneksi dengan orang lain sehingga mempunyai kekuasaan
Kekuasaan
mempunyai peranan penting dalam proses terjadinya konflik, gaya manajemen
konflik, dan teknik resolusi konflik yang dipilih oleh pihak yang terlibat
konflik. Kekuasaan bukan milik individu, tetapi
milik interaksi sosial. Artinya, kekuasaan hanya terjadi dalam interaksi
sosial.
Dalam
situasi konflik tertentu, sering kali orang menggunakan kekuasaan (mata uang)
yang tidak mempunyai nilai – tidak laku - bagi lawan konfliknya. Ketidaklakuan
tersebut dapat disebabkan lawannya menilai rendah kekuasaan yang digunakannya.
Sebagai contoh, dalam konflik politik, pihak yang terlibat konflik selalu
menilai rendah kekuasaan yang dimiliki oleh lawan konfliknya. Selain itu, hal
yang dapat terjadi adalah pihak yang terlibat konflik hanya menilai kekuasaan
berdasarkan persepsinya, tidak berdasarkan identifikasi, bobot dan perhitungan
nilai kekuasaan yang sesungguhnya. Atau, bisa juga ia menggunakan kekuasaan
yang sudah usang, misalnya, dalam masa reformasi masyarakat tidak menghargai
kekuasaan supresi dan kekerasan.
Jadi, peran
kekuasaan dalam konflik adalah kemampuan actual atau kemampuan potensial yang
dapat digunakan untuk mempengaruhi orang
lain sehingga orang lain tersebut akan bersikap atau bertindak sesuai dngan
yang diharapkan atau yang di inginkan.
2. Dinamika Formasi Kekuasaan dalam Interaksi Konflik
Dalam kaitan
dengan kekuasaan, konflik sering disebut sebagai permainan kekuasaan (power play) yang dinamis. Dinamika
konflik merupakan hasil dinamika kekuasaan yang dimiliki dan digunakan oleh
pihak yang terlibat konflik. Ketika memasuki altar konflik, pihak-pihak yang
terlibat konflik mempunyai kuantitas dan kualitas kekuasaan tertentu. Kekuasaan
tersebut membentuk formasi kekuasaan tertentu yang saling berhadapan. Apabila A
terlibat konflik dengan B, maka kemungkinan terjadi 3 formasi kekuasaan, yaitu
:[9]
a. Kekuasaan A
seimbang dengan kekuasaan B (DA = DB)
b. Kekuasaan A
lebih besar daripada kekuasaan B (DA > DB), dan
c. Kekuasaan B
lebih besar daripada kekuasaan A (DB < DA)
Dalam proses
selanjutnya, formasi kekuasaan A dan B dapat berubah. Perubahan tersebut
terjadi sesuai dengan sifat kekuasaan yang dapat diperoleh, bertambah,
berkurang dan hilang. Baik A
maupun B selalu berupaya memperbesar kekuasaannya agar jumlahnya lebih besar
daripada kekuasaan lawan konfliknya. Baik A maupun B berusaha memperbesar
kekuasaanya dengan mencari teman.
Dalam
situasi konflik, pihak yang terlibat konflik dapat menyalahgunakan
kekuasaannya. Pemegang kekuasaan dapat melampaui kekuasaannya yang digunakan
untuk kepentingan dirinya. Sedangkan pihak yang terlibat konflik juga berupaya
menurunkan kekuasaanya dengan berbagai taktik, seperti:[10]
(1) menuduh bahwa kekuasaannya telah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi,
(2) merendahkan arti kekuasaan yang dimiliki lawan konflik, (3) menuduh lawan
konflik melakukan kebohongan publik, (4) menyatakan bahwa lawan konflik tidak
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugasnya, (5) melakukan ketidakpatuhan
publik dan menggerakkan orang lain untuk tidak mematuhinya pula, serta (6) bisa
juga, melakukan whistle blowers
dengan membeberkan rahasia atau perbuatan yang tidak patut dari lawan kofliknya
kepada publik.
Upaya memperbesar kekuasaan diri sendiri dan upaya
memperkecil kekuasaan lawan konfliknya (vice
versa), dalam interaksi konflik, akan menghasilkan dinamika formasi
kekuasaan pihak-pihak yang terlibat konflik. Konflik merupakan proses yang berawal dari adanya sesuatu yang menyebabkan
terjadinya konflik, objek konflik, sampai terjadinya solusi. Dengan
demikian, formasi kekuasaan dalam
interaksi konflik adalah sebagai
permainan kekuasaan (power play) yang
dinamis. Dinamika konflik merupakan hasil dinamika kekuasaan yang dimiliki dan
digunakan oleh pihak yang terlibat konflik.
C.
Model Proses Konflik
Model Proses Konflik Menurut Wirawan[11]
- Penyebab konflik
a.
Beda tujuan
b.
Kompetisi akan sumbar yang terbatas
c.
Tugas saling tergantung
d.
Sistem imbalan yang tidak layak
e.
Pelakuan yang tidakk manusiawi
f.
Perbedaan suku, agama dan sebagainya
- Fase latin
a.
Penyebeb konflik
b.
Belum
c.
Konflik belum
- Fase pemicu
a.
Terjadinya sesuatu yang memicu konflik
b.
Sadar terjadinya konflik
c.
Diferensiansi
d.
Konflik terbuka teradi
e.
Dialog tidak berhasil
- Fase eskalasi
a.
Interaksi konflik memanas
b.
Polarisasi
c.
Mulai menggunakan kekuasaan
d.
Memperbesar
kekuasaan, mencari teman
e.
Terjadi spiral konflik
- Fase krisis
a.
Peraturan tidak dihormati
b.
Semua kekuasaan digunakan untuk mengalahkan lawan
c.
Terjadi agresi
d.
Menyelamatkan muka
- Fase resolusi konflik
a.
Kehabisan eenergi, berhenti, dan tidak mulai lagi
b.
Menyelamatkan muka
c.
Terjadi solusi
- Fase pascakonflik
a.
Bisa kembali harmonis atau
b.
Bisa tidak harmonis
Keterangan dari
proses konflik diatas adalah:[12]
1.
Penyebab konflik
Pada
fase ini peroses Penyebab konflik,. Sebagai contoh, perbadaan tujuan atau,
tujuan sama, tetap terjadi perbedaan mengenai cara untuk mencapai tujuan
tersebut. Kelangkaan sumber-sumber daya pun terjadi, seperti anggaran, sumber
daya manusia, dan sumber daya alamyang terbatas. Anggota organisasi harus
berkompetisi, untuk mendapatkan sumber-sumber tersebu. Dua perusahaan akan
melakukan marger sehingga terjadi benturan budaya organisasi-setelah kedua
perusahaan marger- yang kemudian menciptakan iklim konflik.
2. Fase
laten atau fase tidak terlihat
Dalam
fase laten, penyebab konflik telah ada, perbedaan pendapat telah terjadi,
saling berbeda tujuan dan saling melaksanakan tugas yang berbenturan atau
saling terkait. Akan tetapi, pihak-pihak yang terlibat konflik diam saja atau
belum mengekpresikanya. Masing-masing pihak mungkin belum menyadari terjadinya
konflik, masih menahan diri, atau belum menganggap hal tersebut sebagai
konflik.
3. Fase
pemicu
Dalam
fase ini dalam salah satu pihak dan kedua belah pihak telah mengekpresikan
pertentangan mareka. Ekpresi iti merupakan kejadian pemicu, memicu terjadi
konflik secara terbuka. Ekpresi pertentangan dalam konflik berupa sikap,
perilaku dan dengan menggunakan kata-kata lisan atau tetulis. Pengekpresian ini
membuat konlik menjadi terbuka dan menyadarkan masing-masing pihak akan
terjadinya konflik. Diaalog mengenai konflik terjadi. Masing-msing pihak
mencari asal usul konflik, menentukan posisinya dalam konflik, dan menetukan
strategi untuk menghadapi lawan konfliknya.
Suatu hal yang perlu dipahami dalan fase ini adalah
terjadinya proses diferensiasi dalam diri pihak-pihak yang terlibat konflik,
sebelum terjadinya konflik, pihak-pihak yang terlibat konflik tidak mempunyai
perbedaan mengenai objek konflik. Setelah terjadinya kejadian pemicu, mereka
menyadari adanya perbedaan diantara mereka. Masing-masing pihak menganalilisin
lawan konflik. Kemuadian, mereka membandingkan pssisi lawan konflik dengan
posisinya sendiri. Masing pihak menyadari adanya perbedaan serta menyusun
strategi dan taktik konflik untuk melakukan interaksi konflik.
4. Fase
eskalasi
Jika
fase pemicu konflik tidak terselesaikan, konflik semakin lama akan semakin
membesar. Perbedaan pendapat makin menajam sehingga masng-masing pihak yang
terlibat konflik akan mengalami frustasi
karena tidak dapat mencapai tujuannya akibat terhalang oleh lawan
konfliknya. Masing-masing pihak mengembangkan polarisasi kitamelawan mereka
atau saya melawan dia. Konflik pada awalnya merupakan konflik dalam organisasi
atau interpersonal. Kemudian, konflik ini berubah menjadi konflik personal
diantara individu atau kelompokyang menjadi aktor dalam konflik.
Terjadinya
spiral konflik yang semakin lama semakin membesar sehimgga semakin menjauhkan
jarak diantara pihak-pihak yang terlibat konflik. Sikap negatif terhadap lawan
konflik akan membesar. Masing-masing pihak merasa hanya dirinyalah yang benar
dan lawannya yang salah. Kekuasaan mulai digunakan untukmendesak posisi
lawannya. Masing-masing pihak berupaya memperbesar kekuasaannya dengan mencari
teman serta menafsirkan norma dan peraturan untuk memperkuat posisinya. Konflik
berubah dari konflik organisasi menjadi konflik individual diantara dua
mukayang terlibat konflik.
5. Fase
krisis
Jika
fase eskalasi tidak menghasilkan solusi, konflik meningkat menjadi fase krisis
ciri-ciri fase krisis atara lain sebagai berikut: [13]
a.
Konflik membesar
dan sering kali melibatkan pihak lainnya yng memihak salah satu pihak yang
terlibat konflik. Hal ini terjadi karena pihak-pihak yang terlibat konflik
berupaya membesar kekuasaannya dengan mencari teman.
b.
Prilaku pihak
yang terlibat konflik tidak terkontrol karena masing-masimg pihak yang terlibat
menjadi irasional dan emosional. Kebencian, kemarahan dan dorongan untuk
mengalahkan lawan akhirnya menguasai pikiran dan perasaan mereka. Sering kali
terjadi sikap “hantam dulu, urusan belakang”.
c.
Norma dan
peraturan sudah tidak berlaku karena masing-masing pihak penafsiran norma dan
peraturan untuk memperkuat posisinya dalam konflik.
d.
Menyelamatkan muka
menjadi strategi utama masing-nasing pihak yang terlibat konflik.
e.
Salah satu pihak
yang merasa kuat melakukan agresi. Bentuk agresi bisa berupa verbal, tertulis
maupun fisik atau dalam bentuk sabotase- merusak sesuatu berhubungannya dengan
lawan konflik. Apabila pihak lawannya juga marasa mempunyai kekuasaan dan
kekuatan, maka akan membalasnya dengan agresi.
f.
Pihak yang
terlibat konflik berusaha menhancurkan lawannya dan memenangkan konflik dengan
kosekuensi apapun.
6. Fase
resolusi konflik
Dalam
fase ini mungkin menjadi salah satu feomena antara lain sebagai berikut: [14]
a.
Diantara kedua
belah pihak yang telibat konflik, tidak ada pihak yang menang dan tidak ada
pihak yang kalah. Keduanya akan kehabisan energi. Konflik akan berhenti
sementara dan kemungkinan akan tejadi kembali dikemudian hari.
b.
Terjadi solusi
dengan cara mengatur sendiri atau melalui intervensi pihak ketiga.
7. Fase
pasca konflik
Dalam
fase ini, bisa terjadi beberapa kemungkinan antara lain sebagai berikut:[15]
1)
Hubungan
diantara pihak-pihak yang telibat konflik sedikit demi sedikit kembali normal
dan harmoni. Keadaan ini terjadi jika resolusi konflik menghasilkan win dan win
sulution sehingga kedua belah pihak merasa puas. Apabila solusi ini diikuti
dengan kembalinya saling membutuhkan dan saling percaya, maka hubungan akan
menjadi harmonis kembali.
2)
Hubungan
diantara pihak yang terlibat konflik tetap renggang. Hal ini terjadi jika salah
satu pihak atau kedu belah pihak yang terlibat konflik tidak puas terhadap
solusi konflik, walaupun mereka sudah terikat dalam solusi konflik. Sebagai
contoh jika keputusan pengadilan memenangkan salah satu pihak, pihak yang
dikalahkan merasa tidak puas akan keputusan tersebut. Hal itu lah sebabnya
sering kali ketika keputusan pengadilan akan dieksekusi, pihak yang kalah
melakukan perlawanan secara fisik tidak mau melakukan keputusan pengadila yang
sudah sah atau berkekuatan tetap.
Jadi proses konflik adalah membentuk daur ulang
konflik bukan sebagai proses linier, tetapi proses siklus berbentuk kurva.
Proses konflik dapat lukisan dalam bentuk kurva dengan subu vertical adalah
rendah dan tingginya konflik, sedangkan sumbu horizontal adalah fase konflik.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari hasil papar diatas dapat diperole kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Asumsi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti
budaya, agama, pendidikan, pengalaman menghadapi konflik, dll. Secara umum,
asumsi orang dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu: konflik buru dan
merusak, konflik netral, konflik baik dan diperlukan.
2.
Kekuasaan sangat esensial dalam
proses terjadinya konflik, terutama konflik interpersonal. Dalam kaitan
dengan kekuasaan, konflik sering disebut sebagai permainan kekuasaan (power play) yang dinamis. Dinamika
konflik merupakan hasil dinamika kekuasaan yang dimiliki dan digunakan oleh
pihak yang terlibat konflik.
3.
Model proses konflik meliputi: 1) Penyebab Konflik, 2)Fase Laten, 3)
Fase Pemicu, 4) Fase Eskalasi, 5) Fase Krisis, 6) Fase Resolusi Konflik, 7)
Fase Pascakonflik.
B.
SARAN
Penyebab
konflik sangat komplek yang dilatar belakangi oleh berbagai dimensi dan peristiwa sosial. Konflik merupakan
gambaran tentang terjadinya perselisihan, ketegangan atau pertentangan sebagai
akibat dari perbedaan yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Manajemen konflik
sangat dibutuhkan manusia, karena manusia
tidak bisa menghindari konflik yang terjadi di masyarakat. Dalam
makalah ini telah dipaparkan gambaran konflik mulai dari asumsi konflik, kekuasaan dan proses konflik, serta
model proses konflik. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun
pembaca. Namun demikian, hal-hal yang masih perlu diperdalam lagi oleh penulis
berikutnya adalah masalah
mengenai model proses konflik.
DAFTAR
PUSTAKA
Rusdiana.
Manajemen Konflik. Bandung:
Pustaka Setia, 2015.
Fattah, Nanang . Landasan
Manajemen. Bandung: Remaja Roda Karya, 1996.
Wirawan. Konflik dan Manajemen Konflik. Jakarta:
Salemba Humanika, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar