Senin, 04 September 2017

SEKOLAH SEBAGAI SISTEM ORGANISASI

SEKOLAH SEBAGAI SISTEM ORGANISASI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan


Dosen Pengampu : M. Munir, S.Pd.I., M.Pd.




Oleh :

Aktsarul Ifadah
Aqim Durrotul Aimmah



PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUSSALAM

2017

KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kehadiran kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat-Nya  saya dapat menyelesaikan makalah ini.
            Sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W yang diutus sebagai rahmat untuk sekalian alam dan membimbing umat ke jalan yang lurus.
            Ribuan terima kasih kami ucapkan kepada :
1.        Bapak M. Munir, S.Pd.I., M.Pd. yang telah memberikan pengarahan atas terselesaikannya makalah ini.
2.        Pihak-pihak yang membantu kami dalam menyelesaikan laporan ini.
3.        Teman-teman semester IV
Makalah  ini disusun sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan. Kami menyadari tentunya makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya kami senantiasa mengharap adanya kritik dan saran guna perubahan yang lebih baik kedepannya. Kendati demikian, kami berharap makalah  ini bermanfaat bagi para pembaca. Akhir kata, permohonan maaf kami haturkan atas segala kekurangan dalam makalah ini.



Krempyang,  14 Maret 2017


Penulis





DAFTAR  ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................................................................
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB 1          PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang ............................................................................ 1
B.       Rumusan Masalah ....................................................................... 1
C.       Tujuan Pembahasan..................................................................... 1

BAB II         PEMBAHASAN
A.      Sekolah sebagai Suatu Organisasi................................................ 2
B.       Kelas sebagai Sistem Sosial......................................................... 5
C.       Pesantren sebagai Sistem Sosial................................................... 8

BAB III       PENUTUP
A.    Kesimpulan ................................................................................ 10
B.     Saran .......................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 9





 BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Sekolah sebagai agen perubahan yang dapat mengubah tingkah laku peserta didik menjadi lebih baik dan terarah baik dalam lingkungan sekolah maupun luar sekolah. Sekolah sebagai sistem terbuka, sistem sosial bukan hanya harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada akan tetapi juga harus mampu mengantisipasi perkembangan yang akan terjadi dalam kurun waktu tertentu. Perkembangan dan perubahan peserta didik merupakan suatu aspek pendidikan dimana seorang guru dituntut untuk memahami dan mengawal dalam setiap tahap perkembangan agar proses pendidikan dapat berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan.

B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Apa peran sekolah sebagai suatu organisasi?
2.    Bagaimana peran kelas sebagai sebuah sistem sosial?
3.    Bagaimana peran pesantren sebagai sistem sosial?

C.  Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1.    Mengetahui dan mengerti peran sekolah sebagai suatu organisasi.
2.    Mengetahui dan mengerti peran kelas sebagai sebuah sistem sosial.
3.    Mengetahui dan mengerti peran pesantren sebagai sistem sosial.



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Sekolah sebagai Suatu Organisasi
Sekolah memiliki dua pengertian. Pertama, lingkungan fisik dengan berbagai perlengkapan yang merupakan tempat penyelenggaraan proses pendidikan untuk usia dan kriteria tertentu. Kedua, proses kegiatan belajar mengajar. Dr. Mahmud mengemukakan bahwa Philip Robinson menyebut sekolah sebagai organisasi, yaitu unit sosial yang secara sengaja dibentuk untuk tujuan-tujuan tertentu. Sekolah sengaja diciptakan untuk memudahkan pengajaran sejumlah pengetahuan.[1] Sedangkan menurut tinjauan sosiologi, sekolah adalah sebuah sistem yang memiliki karakteristik. Pertama, sistem persekolahan sebagaimana organisasi-organisasi bisnis lain, mempunyai suatu tujuan organisasi. Tujuan itulah yang menjadi arah dan mengarahkan sistem sosial yang bersangkutan. Kedua, dalam organisasi persekolahan terdapat suatu arus jaringan kerja dari sejumlah posisi yang saling berkaitan dalam rangka mencapai tujuan organisasi.[2]
Sekolah sebagai organisasi memiliki perbedaan dengan organisasi lainnya, secara umum adalah tujuan yang ingin dicapai. Sebuah pabrik sepatu dipastikan memiliki tujuan menghasilkan barang-barang jadi berupa alas kaki, sedangkan sekolah bertujuan menghasilkan individu-individu yang terdidik.[3] Berdasarkan model organisasi, bisa dikatakan bahwa tugas persekolahan adalah untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan pada anak didik, dan karena ituah para guru dipekerjakan. Dalam hubungan ini para supervisor berfungsi membina para guru agar dapat bertugas secara lebih efektif. Di dalam sekolah terdapat beragam aktivitas. Mulai dari aktivitas belajar-mengajar, membersihkan ruangan, dan masih banyak lainnya. Tujuan semua aktivitas tersebut adalah penyelenggaraan proses kegiatan pendidikan. C.E. Bidwell dan B. Davies menngatakan bahwa sekolah sebagai organisasi birokrasi. Kedua sosiolog ini menimbang sekolah dengan konsep birokrasi Weber. Weber menyebutkan enam prinsip birokrasi:[4]
1.    Aturan dan Prosedur yang tetap,
2.    Hierarki jabatan yang dikaitkan dengan struktur pimpinan,
3.    Arsip yang mendokumentasikan tindakan yang diambil,
4.    Pendidikan khusus bagi berbagai fungsi dalam organisasi,
5.    Struktur karier yang dapat diidentifikasi,
6.    Metode-metode yang tidak bersifat pribadi dalam berurusan dengan pegawai dan klien di dalam birokrasi.

Tallcot Parsons menyebut sekolah sebagai sistem, yang di dalamnya terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem yang ada dalam sekolah berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Subsistem tersebut berbagi fungsi untuk kelangsungan eksistensinya. Menurut Sudardja, sekolah sebagai suatu sistem mempunyai keterkaitan dengan sistem lainnya di luar sekolah. Sistem luar meliputi orang tua siswa, masyarakat sekitar sekolah, dinas-dinas, kepolisian, lembaga keagamaan, dan lain-lain. Hubungan antara sekolah dengan sistem lain bersifat hubungan timbal balik yang saling mengisi.[5] Kehadiran sekolah, baik secara fisik maupun sistem memiliki dampak terhadap lingkungan. Begitu juga kehadiran masyarakat di sekitar sekolah memiliki dampak bagi sekolah. Sudardja menggambarkan umpan balik tersebut dalam bagan sebagai berikut.

                                                Kontak/Tindakan
SEKOLAH                                                        Dampak pada masyarakat
                                                                                     

                                            Umpan Balik

Proses umpan balik ini mendorong sekolah untuk mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Sementara itu, interaksi dalam sekolah berlangsung antara empat kategori manusia dan antara orang-orang dalam setiap kategori. Keempat kategori tersebut meliputi pimpinan sekolah, guru, peserta didik dan karyawan non-guru. Max Weber menyebutkan bahwa dalam setiap interaksi sosial dipastikan akan ada konflik. Konflik dalam interaksi sosial bukan lagi sebuah kemungkinan tetapi sebuah kepastian. Di satu sisi konflik bisa menjadi penyebab ketegangan dan disintegrasi, tetapi di sisi lain, konflik mampu meningkatkan integrasi.[6]
Dalam sekolah terdapat stratifikasi, seperti halnya stratifikasi sosial di masyarakat luas. Di kalangan pelajar, strata sosial orang tua mereka melatarbelakangi strata sosial di sekolahnya. Sementara itu, di kalangan para guru, faktor yang berpengaruh adalah usia, jenjang kepangkatan, tingkat pendidikan dan latar belakang sosial. Pangkat kepala sebuah Sekolah Dasar (SD), MTs, MA, SLTP dan SMU merupakan pangkat tertinggi di lingkungannya.
Terdapat kepentingan di antara warga sekolah. Walaupun begitu, mereka dituntut untuk menaati aturan sekolah. Secara umum, di berbagai sekolah yang sederajat terdapat persamaan aturan atau pola kehidupan. Akibat aturan-aturan interaksi, timbullah iklim atau budaya sekolah (school climate atau school culture). Iklim atau budaya sekolah merupakan ciri khas suatu sekolah yang membedakan suasana umum antara sekolah yang satu dengan yang lainnya. Iklim atau budaya sekolah dapat diciptakan secara sengaja, walaupun kadang juga berkembang secara kebetulan. Ada sekolah yang memiliki iklim akademis yang kuat, iklim politik yang kental, iklim disiplin, iklim urakan dan lain-lain. Iklim atau budaya sekolah sangat berpengaruh terhadap citra sekolah dan alumni. Iklim atau budaya sekolah ini pula yang menimbulkan citra sekolah favorit.
Lingkungan sekolah merupakan sebuah sistem yang terdiri dari sejumlah variabel dan faktor utama yang dapat diidentifikasi sebagai budaya sekolah, kebijakan dan politik sekolah, kurikulum formal dan bidang studi. Variabel dan faktor utama sekolah sebagi sistem sosial antara lain:[7]
1.    Kebijakan dan politik sekolah,
2.    Budaya sekolah dan kurikulum yang tersembunyi,
3.    Gaya belajar dan sekolah,
4.    Bahasa dan dialek sekolah,
5.    Partisipasi dan input masyarakat,
6.    Program penyuluhan/ konseling,
7.    Prosedur asesmen dan pengujian,
8.    Materi pembelajaran,
9.    Gaya dan strategi mengajar,
10.     Sikap, persepsi, kepercayaan dan perilaku staf sekolah.

B.  Kelas sebagai Sistem Sosial
1.    Pengertian Kelas
Terdapat dua pengertian tentang kelas yang dihubungkan dengan kata sekolah. Pertama, kelas adalah ruangan tempat berjalannya proses pendidikan. Kedua, sejumlah pelajar yang sama-sama menempuh suatu tingkatan tertentu dalam sebuah lembaga pendidikan.[8] Kelas dalam pengertian pertama merupakan ruangan tertentu dengan arsitektur tertentu juga tempat kegiatan peserta didik dalam mengikuti proses pendidikan. Sementara itu, kelas dalam pengertian kedua adalah jenjang pendidikan pada tingkatan tertentu, contohnya kelas satu SMP, kelas dua SD dan tingkatan lainnya. Kelas dalam pengertian lain merupakan gambaran tentang paket pelajaran yang harus ditempuh oleh tingkatan tertentu. Paket pelajaran ini merupakan seperangkat disiplin ilmu yang berhierarki dan sama-sama dipelajari sekelompok peserta didik yang ada dalam tingkatan tersebut.
Ruang kelas merupakan miniatur dari kelompok yang lebih besar, yaitu masyarakat karena di sana berkumpul individu-individu dari latar belakang status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda, meskipun dengan struktur profesi dan peran yang sama. Beberapa ciri khas struktur kelas yang memiliki kesamaan dengan masyarakat adalah komposisi heterogenitas para peserta didik dan juga struktur birokratis.[9]
2.    Homogenitas sebagai Karakter Kelas
Kelas dalam pengertian tingkatan pendidikan memiliki karakter homogenitas. Pada umumnya, warga setiap kelas memiliki ciri homogenitas, di antaranya dari segi usia peserta didik, kemampuan peserta didik dalam satu tingkatan kelas hampir sama. Pada lembaga-lembaga pendidikan tertentu, homogenitas kelas dicirikan dengan jenis kelamin. Sekolah tertentu memberlakukan satu ketentuan bahwa warga sebuah kelas harus terdiri atas anak-anak perempuan semua atau laki-laki semua.
Dalam hal homogenitas, ada sekolah yang membagi siswanya berdasarkan kesamaan huruf awal nama peserta didik. Contohnya untuk kelas A, sebuah sekolah menempatkan anak-anak ynag namanya diawali dengan huruf a, untuk kelas B adalah anak-anak yang namanya diawali dengan huruf b, dan seterusnya. Ada juga sekolah yang membuat homogenitas kelas berdasarkan tingkat kecerdasan para peserta didiknya. Cara ini dianggap untuk mempertahankan kualitas dan mencari bibit unggul.
Homogenitas hanya efektif untuk mengembangkan program-program khusus, tidak terlalu terkait secara signifikan dengan tingkat kualitas dan keberhasilan pendidikan. Pendidikan yang ditujukan untuk mencerdaskan semua elemen masyarakat, dengan adanya homogenitas kecerdasan justru akan menghambat tujuan tersebut. Anak-anak yang memiliki tingkat keceerdasan kurang baik tidak akan terangsang untuk mengejar ketertinggalannya. Sebaliknya, dalam keadaan heterogenitas kesadaran peserta didik terpicu. Anak-anak yang lambat akan mudah mendapat rangsangan untuk meningkatkan kecerdasannya. Efek buruk dari homogenitas berdasarkan kecerdasan hanya akan menghasilkan dua kemungkinan. Pertama, memperburuk rendah diri peserta didik yang kurang cerdas. Kedua, memicu kesombongan di kalangan peserta didik yang tergolong cerdas.
3.    Interaksi dan Suasana dalam Kelas
Di dalam kelas terjadi interaksi antara guru dengan peserta didik dan antarsesama peserta didik. Interaksi ini bersifat intensif dan terprogram. Interaksi tersebut menimbulkan efek terhadap proses pendidikan. Interaksi dalam kelas melahirkan sesuatu yang disebut dengan iklim atau susasana kelas. Interaksi para peserta didik dalam kelas terbingkai dalam aturan kelas yang telah ditentukan sekolah secara keseluruhan. Interaksi merupakan faktor dominan dalam menciptakan suasana kelas. Secara umum, suasana kelas terbagi menjadi dua. Pertama, suasana kelas yang hidup. Kedua, suasana kleas yang mati. Suasana kelas yang hidup ditandai dengan peserta didik yang aktif dan responsif, sedangkan suasana kelas yang mati ditandai dengan peserta didik yang pasif. [10]
Kehangatan hubungan guru dengan peserta didik dalam kelas terkait dengan perhatian guru pada emosi peserta didik. Dengan memerhatikan emosi peserta didik, guru dapat membantu mempercepat pembelajaran dan membuat pembelajaran lebih berarti dan permanen. Pelibatan emosi memengaruhi kegiatan saraf otak. Tanpa keterlibatan emosi, saraf otak berkurang dari yang dibutuhkan untuk merekatkan pelajaran dalam ingatan. Selain membangun ikatan emosional dengan peserta didik, para guru juga harus menciptakan rasa senang dalam belajar, menjalin hubungan dengan peserta didik dan menyingkirkan segala anacaman dari suasana belajar.
   Jalinan rasa simpati dan saling pengertian dapat menarik keterlibatan peserta didik dalam proses belajar mengajar dan membuat suasana hubungan menjadi akrab. Membentuk jalinan simpati sebenarnya bertujuan agar guru disenangi oleh peserta didik. Jika seorang guru disenangi oleh peserta didiknya, guru akan lebih mudah mengajar peserta didiknya. Apabila seorang guru berhasil membangun jalinan simpati, peserta didik akan menerima guru dan juga ajarannya. Sebaliknya, bila hubungan (interaksi) guru dengan peserta didik menegang, maka guru akan ditinggalkan oleh peserta didiknya.

C.  Pesantren sebagai Sistem Sosial
Pesantren merupakan lembaga pribadi milik ‘ulama, umumnya dikelola dengan bantuan keluarga. Pengajaran di pesantren didasarkan pada “kitab klasik” (kitab kuning), karya para ‘ulama Islam, biasanya dari madzhab hukum Imam Syafi’i. Pengajaran yang diadakan selalu mencakup tata bahasa Arab (nahwu) dan konjungsinya (sharaf), seni baca Al-Quran, tafsir Al-Quran, ilmu tauhid, fiqh, akhlak, mantiq, sejarah, dan tasawuf. [11]
Pada abad ke-20, pesantren mendapat tekanan dari masyarakat dan pemerintah untuk mengadopsi teknik-teknik baru dan memasukkan beberapa mata pelajaran umum. Sebagai hasil dari pergulatan kebudayaan yang kreatif antara tradisi kajian, sistem pendidikan dan pola interaksi kiai-santri-masyarakat yang dibangunnya, pesantren akhirnya memiliki pola yang spesifik. Selaras dengan tuntutan modernitas dan keharusan merespon kenyataan negara-bangsa, pesantren pun tetap menjaga sekaligus melakukan perubahan diri dengan tetap dalam koridor pelestarian nilai-nilai agama.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat berakar dari masyarakat. Kiai pendiri sebuah pesantren akan hidup berinteraksi dengan masyarakat sekitar, dan masyarakat pun merasa memilikinya. Sebagai institusi pendidikan Islam tradisional, pesantren sudah sejak lama survive dalam sejarah perkembangan pendidikan Indonesia. Ini terbukti dengan banyak memberi sumbangan bagi upaya mewujudkan idealisme pendidikan nasional, yang bukan sekedar meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada aspek penguasaan sains dan teknologi melainkan juga dalam mencetak warga negara Indonesia yang memiliki ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terutama dalam memupuk generasi yang bermoral baik (akhlaq al-karimah).[12]



















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.    Sekolah sebagai suatu organisasi adalah sistem yang sengaja dibentuk untuk tujuan-tujuan tertentu yaitu untuk memudahkan pengajaran sejumlah pengetahuan, sekolah juga merupakan sebuah organisasi birokrasi.
2.    Kelas merupakan sebuah ruangan tempat berjalannya proses belajar mengajar yang di dalamnya terdapat sejumlah peserta didik yang sama-sama menempuh suatu tingkatan tertentu. Karakteristik kelas antara lain homogenitas dan adanya interaksi dalam kelas.
3.    Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang telah lama berdiri yang ikut andil dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan tidak meninggalkan ciri utamanya sebagai lembaga yang melahirkan generasi yang bermoral baik.

B.  Saran
Setelah kita mengetahui peran sekolah sebagai organisasi sosial yang menganut sitem birokrasi semoga nantinya sebagai salah satu pemangku pendidikan mampu menciptakan iklim sekolah dan kelas yang mampu membawa perubahan kepada generasi-generasi yang akan datang. Sehingga mampu melaksanakan tujuan dari pendidikan dengan mencerdaskan generasi yang akan membawa perubahan dalam dunia pendidikan. Penulis selalu mengharapakan kritik dan saran untuk kedepannya lebih baik dan semoga makalah ini bermanfaat tidak hanya bagi penulis tapi juga kepada pembaca.



[1] Mahmud, Sosiologi Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 167.
[2] Faisal, Sanapiah dan Nur Yasik, Sosiologi Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, Tt), 67.
[3] Mahmud, Sosiologi Pendidikan, 167.
[4] Mahmud, Sosiologi Pendidikan, 168.
[5] Ibid., 169.
[6] Mahmud, Sosiologi Pendidikan, 170.
[7] Review Jurnal Organisasi Pendidikan Sebagai Sistem Sosial (Yoyakarta: UM Yogyakarta, 2015), 3.
[8] Mahmud, Sosiologi Pendidikan, 171.
[9] Gusnari, Jurnal: “Ta’dieb Jurnal Kependidikan dan Sosial Keagamaan” (Palu: LP4M IAIN Palu, vol. 18, 2013), 1005.
[10] Mahmud, “Sosiologi Pendidikan”, 175.
[11] Mahmud, “Sosiologi Pendidikan”, 233.
[12] Mahmud, “Sosiologi Pendidikan”, 236.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar