SEKOLAH SEBAGAI SISTEM ORGANISASI
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan
Dosen
Pengampu : M. Munir, S.Pd.I., M.Pd.
Oleh
:
Aktsarul
Ifadah
Aqim
Durrotul Aimmah
PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUSSALAM
2017
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadiran kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat-Nya saya dapat
menyelesaikan makalah ini.
Sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad S.A.W yang diutus sebagai rahmat untuk sekalian alam dan
membimbing umat ke jalan yang lurus.
Ribuan terima kasih kami ucapkan kepada :
1.
Bapak M. Munir, S.Pd.I.,
M.Pd. yang telah memberikan
pengarahan atas terselesaikannya makalah ini.
2.
Pihak-pihak yang membantu kami dalam menyelesaikan laporan
ini.
3.
Teman-teman semester IV
Makalah ini disusun sebagai pemenuhan tugas mata
kuliah Sosiologi Pendidikan. Kami menyadari tentunya makalah ini jauh dari
kesempurnaan, oleh karenanya kami senantiasa mengharap adanya kritik dan saran
guna perubahan yang lebih baik kedepannya. Kendati demikian, kami berharap
makalah ini bermanfaat bagi para
pembaca. Akhir kata, permohonan maaf kami haturkan atas segala kekurangan dalam
makalah ini.
Krempyang, 14 Maret 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ...............................................................................................
KATA
PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR
ISI ......................................................................................................... iii
BAB
1 PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang ............................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah ....................................................................... 1
C.
Tujuan Pembahasan..................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Sekolah sebagai Suatu Organisasi................................................ 2
B.
Kelas sebagai Sistem Sosial......................................................... 5
C.
Pesantren sebagai Sistem Sosial................................................... 8
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
................................................................................ 10
B.
Saran .......................................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA ............................................................................................ 9
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sekolah sebagai agen perubahan yang dapat mengubah tingkah laku
peserta didik menjadi lebih baik dan terarah baik dalam lingkungan sekolah
maupun luar sekolah. Sekolah sebagai sistem terbuka, sistem sosial bukan hanya harus
menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada akan tetapi juga harus mampu
mengantisipasi perkembangan yang akan terjadi dalam kurun waktu tertentu.
Perkembangan dan perubahan peserta didik merupakan suatu aspek pendidikan
dimana seorang guru dituntut untuk memahami dan mengawal dalam setiap tahap
perkembangan agar proses pendidikan dapat berhasil sesuai dengan apa yang
diharapkan.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat diambil
rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
peran sekolah sebagai suatu organisasi?
2.
Bagaimana
peran kelas sebagai sebuah sistem sosial?
3.
Bagaimana
peran pesantren sebagai sistem sosial?
C.
Tujuan
Pembahasan
Tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1.
Mengetahui
dan mengerti peran sekolah sebagai suatu organisasi.
2.
Mengetahui
dan mengerti peran kelas sebagai sebuah sistem sosial.
3.
Mengetahui
dan mengerti peran pesantren sebagai sistem sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sekolah
sebagai Suatu Organisasi
Sekolah memiliki dua pengertian. Pertama, lingkungan fisik dengan
berbagai perlengkapan yang merupakan tempat penyelenggaraan proses pendidikan
untuk usia dan kriteria tertentu. Kedua, proses kegiatan belajar mengajar. Dr.
Mahmud mengemukakan bahwa Philip Robinson menyebut sekolah sebagai
organisasi, yaitu unit sosial yang secara sengaja dibentuk untuk tujuan-tujuan
tertentu. Sekolah sengaja diciptakan untuk memudahkan pengajaran sejumlah
pengetahuan.[1]
Sedangkan menurut tinjauan sosiologi, sekolah adalah sebuah sistem yang
memiliki karakteristik. Pertama, sistem persekolahan sebagaimana
organisasi-organisasi bisnis lain, mempunyai suatu tujuan organisasi. Tujuan
itulah yang menjadi arah dan mengarahkan sistem sosial yang bersangkutan.
Kedua, dalam organisasi persekolahan terdapat suatu arus jaringan kerja dari
sejumlah posisi yang saling berkaitan dalam rangka mencapai tujuan organisasi.[2]
Sekolah sebagai organisasi memiliki perbedaan dengan organisasi
lainnya, secara umum adalah tujuan yang ingin dicapai. Sebuah pabrik sepatu
dipastikan memiliki tujuan menghasilkan barang-barang jadi berupa alas kaki,
sedangkan sekolah bertujuan menghasilkan individu-individu yang terdidik.[3]
Berdasarkan model organisasi, bisa dikatakan bahwa tugas persekolahan adalah
untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan pada anak didik, dan karena ituah
para guru dipekerjakan. Dalam hubungan ini para supervisor berfungsi membina
para guru agar dapat bertugas secara lebih efektif. Di dalam sekolah terdapat
beragam aktivitas. Mulai dari aktivitas belajar-mengajar, membersihkan ruangan,
dan masih banyak lainnya. Tujuan semua aktivitas tersebut adalah
penyelenggaraan proses kegiatan pendidikan. C.E. Bidwell dan B. Davies
menngatakan bahwa sekolah sebagai organisasi birokrasi. Kedua sosiolog ini
menimbang sekolah dengan konsep birokrasi Weber. Weber menyebutkan enam prinsip
birokrasi:[4]
1.
Aturan
dan Prosedur yang tetap,
2.
Hierarki
jabatan yang dikaitkan dengan struktur pimpinan,
3.
Arsip
yang mendokumentasikan tindakan yang diambil,
4.
Pendidikan
khusus bagi berbagai fungsi dalam organisasi,
5.
Struktur
karier yang dapat diidentifikasi,
6.
Metode-metode
yang tidak bersifat pribadi dalam berurusan dengan pegawai dan klien di dalam
birokrasi.
Tallcot Parsons menyebut sekolah sebagai sistem, yang di dalamnya
terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem yang ada dalam sekolah berkaitan
antara satu dengan yang lainnya. Subsistem tersebut berbagi fungsi untuk
kelangsungan eksistensinya. Menurut Sudardja, sekolah sebagai suatu sistem
mempunyai keterkaitan dengan sistem lainnya di luar sekolah. Sistem luar
meliputi orang tua siswa, masyarakat sekitar sekolah, dinas-dinas, kepolisian,
lembaga keagamaan, dan lain-lain. Hubungan antara sekolah dengan sistem lain
bersifat hubungan timbal balik yang saling mengisi.[5] Kehadiran
sekolah, baik secara fisik maupun sistem memiliki dampak terhadap lingkungan.
Begitu juga kehadiran masyarakat di sekitar sekolah memiliki dampak bagi
sekolah. Sudardja menggambarkan umpan balik tersebut dalam bagan sebagai
berikut.
Kontak/Tindakan
SEKOLAH Dampak pada masyarakat
Umpan Balik
Proses umpan balik ini mendorong sekolah untuk mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat. Sementara itu, interaksi dalam sekolah berlangsung antara empat
kategori manusia dan antara orang-orang dalam setiap kategori. Keempat kategori
tersebut meliputi pimpinan sekolah, guru, peserta didik dan karyawan non-guru.
Max Weber menyebutkan bahwa dalam setiap interaksi sosial dipastikan akan ada
konflik. Konflik dalam interaksi sosial bukan lagi sebuah kemungkinan tetapi
sebuah kepastian. Di satu sisi konflik bisa menjadi penyebab ketegangan dan
disintegrasi, tetapi di sisi lain, konflik mampu meningkatkan integrasi.[6]
Dalam sekolah terdapat stratifikasi, seperti halnya stratifikasi
sosial di masyarakat luas. Di kalangan pelajar, strata sosial orang tua mereka
melatarbelakangi strata sosial di sekolahnya. Sementara itu, di kalangan para
guru, faktor yang berpengaruh adalah usia, jenjang kepangkatan, tingkat
pendidikan dan latar belakang sosial. Pangkat kepala sebuah Sekolah Dasar (SD),
MTs, MA, SLTP dan SMU merupakan pangkat tertinggi di lingkungannya.
Terdapat kepentingan di antara warga sekolah. Walaupun begitu,
mereka dituntut untuk menaati aturan sekolah. Secara umum, di berbagai sekolah
yang sederajat terdapat persamaan aturan atau pola kehidupan. Akibat
aturan-aturan interaksi, timbullah iklim atau budaya sekolah (school climate
atau school culture). Iklim atau budaya sekolah merupakan ciri khas
suatu sekolah yang membedakan suasana umum antara sekolah yang satu dengan yang
lainnya. Iklim atau budaya sekolah dapat diciptakan secara sengaja, walaupun
kadang juga berkembang secara kebetulan. Ada sekolah yang memiliki iklim
akademis yang kuat, iklim politik yang kental, iklim disiplin, iklim urakan dan
lain-lain. Iklim atau budaya sekolah sangat berpengaruh terhadap citra sekolah
dan alumni. Iklim atau budaya sekolah ini pula yang menimbulkan citra sekolah
favorit.
Lingkungan sekolah merupakan sebuah sistem yang terdiri dari
sejumlah variabel dan faktor utama yang dapat diidentifikasi sebagai budaya
sekolah, kebijakan dan politik sekolah, kurikulum formal dan bidang studi.
Variabel dan faktor utama sekolah sebagi sistem sosial antara lain:[7]
1.
Kebijakan
dan politik sekolah,
2.
Budaya
sekolah dan kurikulum yang tersembunyi,
3.
Gaya
belajar dan sekolah,
4.
Bahasa
dan dialek sekolah,
5.
Partisipasi
dan input masyarakat,
6.
Program
penyuluhan/ konseling,
7.
Prosedur
asesmen dan pengujian,
8.
Materi
pembelajaran,
9.
Gaya
dan strategi mengajar,
10.
Sikap,
persepsi, kepercayaan dan perilaku staf sekolah.
B.
Kelas
sebagai Sistem Sosial
1.
Pengertian
Kelas
Terdapat dua pengertian tentang kelas yang dihubungkan dengan kata
sekolah. Pertama, kelas adalah ruangan tempat berjalannya proses pendidikan.
Kedua, sejumlah pelajar yang sama-sama menempuh suatu tingkatan tertentu dalam
sebuah lembaga pendidikan.[8]
Kelas dalam pengertian pertama merupakan ruangan tertentu dengan arsitektur tertentu
juga tempat kegiatan peserta didik dalam mengikuti proses pendidikan. Sementara
itu, kelas dalam pengertian kedua adalah jenjang pendidikan pada tingkatan
tertentu, contohnya kelas satu SMP, kelas dua SD dan tingkatan lainnya. Kelas
dalam pengertian lain merupakan gambaran tentang paket pelajaran yang harus
ditempuh oleh tingkatan tertentu. Paket pelajaran ini merupakan seperangkat
disiplin ilmu yang berhierarki dan sama-sama dipelajari sekelompok peserta
didik yang ada dalam tingkatan tersebut.
Ruang kelas merupakan miniatur dari kelompok yang lebih besar,
yaitu masyarakat karena di sana berkumpul individu-individu dari latar belakang
status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda, meskipun dengan struktur profesi
dan peran yang sama. Beberapa ciri khas struktur kelas yang memiliki kesamaan
dengan masyarakat adalah komposisi heterogenitas para peserta didik dan juga
struktur birokratis.[9]
2.
Homogenitas
sebagai Karakter Kelas
Kelas dalam pengertian tingkatan pendidikan memiliki karakter
homogenitas. Pada umumnya, warga setiap kelas memiliki ciri homogenitas, di
antaranya dari segi usia peserta didik, kemampuan peserta didik dalam satu
tingkatan kelas hampir sama. Pada lembaga-lembaga pendidikan tertentu,
homogenitas kelas dicirikan dengan jenis kelamin. Sekolah tertentu
memberlakukan satu ketentuan bahwa warga sebuah kelas harus terdiri atas
anak-anak perempuan semua atau laki-laki semua.
Dalam hal homogenitas, ada sekolah yang membagi siswanya
berdasarkan kesamaan huruf awal nama peserta didik. Contohnya untuk kelas A,
sebuah sekolah menempatkan anak-anak ynag namanya diawali dengan huruf a, untuk
kelas B adalah anak-anak yang namanya diawali dengan huruf b, dan seterusnya. Ada
juga sekolah yang membuat homogenitas kelas berdasarkan tingkat kecerdasan para
peserta didiknya. Cara ini dianggap untuk mempertahankan kualitas dan mencari
bibit unggul.
Homogenitas hanya efektif untuk mengembangkan program-program
khusus, tidak terlalu terkait secara signifikan dengan tingkat kualitas dan
keberhasilan pendidikan. Pendidikan yang ditujukan untuk mencerdaskan semua
elemen masyarakat, dengan adanya homogenitas kecerdasan justru akan menghambat
tujuan tersebut. Anak-anak yang memiliki tingkat keceerdasan kurang baik tidak
akan terangsang untuk mengejar ketertinggalannya. Sebaliknya, dalam keadaan
heterogenitas kesadaran peserta didik terpicu. Anak-anak yang lambat akan mudah
mendapat rangsangan untuk meningkatkan kecerdasannya. Efek buruk dari
homogenitas berdasarkan kecerdasan hanya akan menghasilkan dua kemungkinan. Pertama,
memperburuk rendah diri peserta didik yang kurang cerdas. Kedua, memicu
kesombongan di kalangan peserta didik yang tergolong cerdas.
3.
Interaksi
dan Suasana dalam Kelas
Di dalam kelas terjadi interaksi antara guru dengan peserta didik
dan antarsesama peserta didik. Interaksi ini bersifat intensif dan terprogram.
Interaksi tersebut menimbulkan efek terhadap proses pendidikan. Interaksi dalam
kelas melahirkan sesuatu yang disebut dengan iklim atau susasana kelas.
Interaksi para peserta didik dalam kelas terbingkai dalam aturan kelas yang
telah ditentukan sekolah secara keseluruhan. Interaksi merupakan faktor dominan
dalam menciptakan suasana kelas. Secara umum, suasana kelas terbagi menjadi
dua. Pertama, suasana kelas yang hidup. Kedua, suasana kleas yang mati. Suasana
kelas yang hidup ditandai dengan peserta didik yang aktif dan responsif,
sedangkan suasana kelas yang mati ditandai dengan peserta didik yang pasif. [10]
Kehangatan hubungan guru dengan peserta didik dalam kelas terkait
dengan perhatian guru pada emosi peserta didik. Dengan memerhatikan emosi
peserta didik, guru dapat membantu mempercepat pembelajaran dan membuat
pembelajaran lebih berarti dan permanen. Pelibatan emosi memengaruhi kegiatan
saraf otak. Tanpa keterlibatan emosi, saraf otak berkurang dari yang dibutuhkan
untuk merekatkan pelajaran dalam ingatan. Selain membangun ikatan emosional
dengan peserta didik, para guru juga harus menciptakan rasa senang dalam
belajar, menjalin hubungan dengan peserta didik dan menyingkirkan segala
anacaman dari suasana belajar.
Jalinan rasa simpati dan
saling pengertian dapat menarik keterlibatan peserta didik dalam proses belajar
mengajar dan membuat suasana hubungan menjadi akrab. Membentuk jalinan simpati
sebenarnya bertujuan agar guru disenangi oleh peserta didik. Jika seorang guru
disenangi oleh peserta didiknya, guru akan lebih mudah mengajar peserta
didiknya. Apabila seorang guru berhasil membangun jalinan simpati, peserta
didik akan menerima guru dan juga ajarannya. Sebaliknya, bila hubungan
(interaksi) guru dengan peserta didik menegang, maka guru akan ditinggalkan
oleh peserta didiknya.
C.
Pesantren
sebagai Sistem Sosial
Pesantren merupakan lembaga pribadi milik ‘ulama, umumnya dikelola
dengan bantuan keluarga. Pengajaran di pesantren didasarkan pada “kitab klasik”
(kitab kuning), karya para ‘ulama Islam, biasanya dari madzhab hukum Imam
Syafi’i. Pengajaran yang diadakan selalu mencakup tata bahasa Arab (nahwu) dan
konjungsinya (sharaf), seni baca Al-Quran, tafsir Al-Quran, ilmu tauhid, fiqh,
akhlak, mantiq, sejarah, dan tasawuf. [11]
Pada abad ke-20, pesantren mendapat tekanan dari masyarakat dan
pemerintah untuk mengadopsi teknik-teknik baru dan memasukkan beberapa mata
pelajaran umum. Sebagai hasil dari pergulatan kebudayaan yang kreatif antara
tradisi kajian, sistem pendidikan dan pola interaksi kiai-santri-masyarakat
yang dibangunnya, pesantren akhirnya memiliki pola yang spesifik. Selaras
dengan tuntutan modernitas dan keharusan merespon kenyataan negara-bangsa,
pesantren pun tetap menjaga sekaligus melakukan perubahan diri dengan tetap
dalam koridor pelestarian nilai-nilai agama.
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang sangat berakar dari masyarakat. Kiai pendiri
sebuah pesantren akan hidup berinteraksi dengan masyarakat sekitar, dan
masyarakat pun merasa memilikinya. Sebagai institusi pendidikan Islam
tradisional, pesantren sudah sejak lama survive dalam sejarah
perkembangan pendidikan Indonesia. Ini terbukti dengan banyak memberi sumbangan
bagi upaya mewujudkan idealisme pendidikan nasional, yang bukan sekedar
meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada aspek penguasaan sains dan
teknologi melainkan juga dalam mencetak warga negara Indonesia yang memiliki
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terutama dalam memupuk generasi yang
bermoral baik (akhlaq al-karimah).[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Sekolah
sebagai suatu organisasi adalah sistem yang sengaja dibentuk untuk
tujuan-tujuan tertentu yaitu untuk memudahkan pengajaran sejumlah pengetahuan,
sekolah juga merupakan sebuah organisasi birokrasi.
2.
Kelas
merupakan sebuah ruangan tempat berjalannya proses belajar mengajar yang di
dalamnya terdapat sejumlah peserta didik yang sama-sama menempuh suatu
tingkatan tertentu. Karakteristik kelas antara lain homogenitas dan adanya
interaksi dalam kelas.
3.
Pesantren
merupakan salah satu lembaga pendidikan yang telah lama berdiri yang ikut andil
dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan tidak meninggalkan ciri
utamanya sebagai lembaga yang melahirkan generasi yang bermoral baik.
B.
Saran
Setelah
kita mengetahui peran sekolah sebagai organisasi sosial yang menganut sitem
birokrasi semoga nantinya sebagai salah satu pemangku pendidikan mampu menciptakan
iklim sekolah dan kelas yang mampu membawa perubahan kepada generasi-generasi
yang akan datang. Sehingga mampu melaksanakan tujuan dari pendidikan dengan
mencerdaskan generasi yang akan membawa perubahan dalam dunia pendidikan.
Penulis selalu mengharapakan kritik dan saran untuk kedepannya lebih baik dan
semoga makalah ini bermanfaat tidak hanya bagi penulis tapi juga kepada
pembaca.
[1] Mahmud, Sosiologi
Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 167.
[2] Faisal,
Sanapiah dan Nur Yasik, Sosiologi Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional,
Tt), 67.
[3] Mahmud, Sosiologi
Pendidikan, 167.
[4] Mahmud, Sosiologi
Pendidikan, 168.
[5] Ibid., 169.
[6] Mahmud, Sosiologi
Pendidikan, 170.
[7] Review Jurnal
Organisasi Pendidikan Sebagai Sistem Sosial (Yoyakarta: UM Yogyakarta, 2015),
3.
[8] Mahmud, Sosiologi
Pendidikan, 171.
[9] Gusnari,
Jurnal: “Ta’dieb Jurnal Kependidikan dan Sosial Keagamaan” (Palu: LP4M
IAIN Palu, vol. 18, 2013), 1005.
[10] Mahmud, “Sosiologi
Pendidikan”, 175.
[11] Mahmud, “Sosiologi
Pendidikan”, 233.
[12] Mahmud, “Sosiologi
Pendidikan”, 236.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar