KEPRIBADIAN DALAM AL-QURAN
Oleh:
Aqim Durrotul Aimmah
Dewi Martalia K.
Iva Miftahul Jannah
Karina Nuraini
A. Pendahuluan
Dalam membicarakan kepribadian, banyak orang yang menganggapnya sebagai
pengaruh yang ditumbuhkan seseorang atas diri orang lain. Sementara para ahli
ilmu jiwa memandang kepribadian sebagai struktur dan proses-proses kejiwaan
tetap yang mengatur pengalaman-pengalaman seseorang dan membentuk
tindakan-tindakandan responnya terhadap lingkungannya, dalam cara yang
membedakannya dari orang lain.
Dalam al-Qur’an terdapat uraian tentang kepribadian manusia dan berbagai
karakteristik umum yang membedakan manusia dari makhluk Allah yang lain. Selain
itu terdapat pula uraian tentang pola-pola umum kepribadian yang diwarnai
dengan sifat-sifat utama, juga berbagai faktor yang membentuk kepribadian.
B. Pembahasan
1. Kepribadian
Manusia dan Konflik Psikis yang dialaminya
Dalam kamus Chaplin kata “tipe”
memiliki pengertian sebagai “satu pengelompokan individu yang dapat dibedakan
dari orang lain karena memiliki satu sifat khusus”. Setiap manusia memiliki
kepribadian yang berbeda-beda. Sejalan dengan itu, maka istilah kepribadian
sampai saat ini belum bisa di definisikan secara mendetail, meskipun sudah ada
beberapa teori yang membahas tentang itu.
Adapun pengertian kepribadian
sebagaimana dikatakan oleh Allport yaitu organisasi yang dinamis dalam diri
individu tentang sistem psiko-fisik yang menentukan penyesuainnya yang unik
terhadap lingkungan. Kepribadian
adalah istilah untuk menyebutkan tingkah laku seseorang secara terintegrasikan
dan bukan hanya beberapa aspek saja dari keseluruhan itu. Kepribadian tidak
menyatakan sesuatu yang bersifat statis, seperti bentuk badan atau ras tetapi
menyertakan keseluruhan dan kesatuan dari tingkah laku seseorang. Kepribadian
tidak berkembang secara pasif saja, tetapi orang menggunakan kapasitasnya
secara aktif untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.[1]
Para
psikolog memandang kepribadian sebagai struktur dan proses psikologis yang
tetap, yang menyusun pengalaman-pengalaman individu serta membentuk berbagai
tindakan dan respons individu terhadap lingkungan tempat hidup. Dalam
masa pertumbuhannya, kepribadian bersifat dinamis, berubah-ubah dikarenakan
pengaruh lingkungan, pengalaman hidup, ataupun pendidikan. Kepribadian tidak
terjadi secara serta merta, tetapi terbentuk melalui proses kehidupan yang
panjang. Dengan demikian, apakah kepribadian seseorang itu baik atau buruk,
kuat atau lemah, beradab atau biadab sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor
yang mempengaruhi dalam perjalanan kehidupan seseorang tersebut.[2]
Dalam kepribadian manusia terkandung berbagai sifat hewani yang
tercermin dari berbagai kebutuhan fisik yang harus dipenuhi demi kelangsungan
hidupnya. Selain itu terdapat pula sifat-sifat malaikat yang tercermin dari
kerinduan spiritualnya untuk mengenal Allah, beriman, menyembah, dan
memuji-Nya. Terkadang antara dua aspek kepribadian ini terjadi konflik seperti
diisyaratkan dalam al-Qur’an.[3]
فَأَمَّا مَنْ طَغَى (٣٧) وَآثَرَ
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (٣٨) فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى (٣٩) وَأَمَّا
مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (٤٠) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (٤١)
Artinya: “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan
kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun
orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa
nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” QS, an-Nazi’at 37-41.[4]
Dengan kehendak-Nya, Allah telah menetapkan bahwa manusia akan merasakan
derita disamping berbagai kesulitan hidup lainnya berupa konflik psikis antara
kebutuhan spiritual dan materialnya. Barangkali dengan kehendak-Nya pula, Allah
telah menetapkan bahwa cara manusia menetapkan konflik ini merupakan ujian
mendasar bagi manusia. Oleh karenanya, barang siapa yang mampu memadukan antara
aspek-aspek material dan spiritualnya dalam kepribadiannya, dan berhasil
merealisasikan keserasian dan keseimbangan antara dua aspek tersebut, maka ia
dipandang berhasil dalam ujian tersebut
Dengan karunia dan hikmah-Nya, Allah membekali manusia dengan semua
potensi yang diperlukannya untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dengan adanya
akal agar dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Juga karunia untuk
bebas memilih, agar ia mampu memberi keputusan tentang konflik tersebut dan
memilih jalan yang dikehendaki untuk menyelesaikannya. Kebebasan kehendak
manusia dan kebebasan dalam memilih jalan penyelesaian konflik ini merupakan
landasan tanggung jawab dan perhitungan atas tindakan-tindakannya, dimana Allah
pun sudah memberinya petunjuk. Dengan demikian dalam diri manusia terdapat
kesiapan untuk melakukan kebaikan maupun keburukan.[5]
2. Keseimbangan
dalam Kepribadian
Di awal telah dikemukakan bahwa penyelesaian yang paling ideal dari
konflik antara aspek-aspek fisik dan spiritual dalam diri manusia adalah dengan
mengkompromikan antara keduanya. Ini dilakukan dengan memenuhhi berbagai
kebutuhan fisik dalam batas yang diperkenankan oleh Allah dan pada saat yang
sama juga memenuhi kebutuhan spiritualnya. Pengkompromian antara kebutuhan
tubuh dan kebutuhan jiwa ini mungkin apabila seseorang dalam kehidupannya
konsisten dengan sikap tengah-tengah dan moderat, dan menghindarkan diri dari
berlebih-lebihan dalam memenuhi kebutuhn baik kebutuhan fisik maupun spiritual.
Dalam Islam tidak terdapat kependetaan yang menentang sebagian dorongan fisik,
juga tidak terdapat nihilisme mutlak yang mengizinkan pemenuhan sepuas-puasnya
terhadap kebutuhan fisik. Perlunya
realisasi penyeimbangan dalam kepribadian ini sesuai dengan firman Allah:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا...
Artinya: “dan carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi...” (QS. Al-Qashash : 77)[6]
Apabila keseimbangan antara tubuh dan jiwa ini terealisasi, maka akan
terealisasikanlah kepribadian manusia dalam citranya yang hakiki dan sempurna,
seperti yang tercermin dalam diri Rasulullah. Beliau selalu menyembah Allah
dalam kekhusyukan dan kebeningan hati yang penuh, sementara sebagai manusia
beliau juga menikmati dunia dalam batas-batas yang diperkenankan agama. Oleh
karena itu, beliau adalah cerminan manusia sempurna dan kepribadian manusiawi
yang ideal dan paripurna dimana semua kekuatan fisik dan spiritualnya seimbang.
Keseimbangan antara tubuh dan jiwa dalam kepribadian manusia adalah contoh
keseimbangan yang ada dalam alam semesta.[7]
3. Pola-Pola Kepribadian
dalam al-Qur’an
Dalam berbagai kurun sejarah, para pemikir, seperti ahli ilmu jiwa
modern, telah berusaha mengkaji berbagai segi keserupaan dan perbedaan antara
berbagai kepribadian manusia. Mereka juga telah mengklasifikasikan manusia
dalam berbagai pola kepribadiaan, dimana masing-masing pola diwarnai dengan
sejumlah sifat atau karakteristik. Dari ahli-ahli tersebut ada yang
mengklasifikasikannya berdasarkan karakter fisik, dan ada pula yang
mengklasifikasikannya berdasarkan keserupaan sifat psikis.
Dalam al-Quran ditemukan klasifikasi manusia berdasarkan aqidahnya
yaitu: orang beriman, orang kafir, dan orang munafik. Masing-masing dari pola
ini memiliki sifat umum yang membedakannya satu sama lain. Klasifikasi manusia
berdasarkan aqidah ini sesuai dengan tujuan al-Quran dalam kedudukannya sebagai
kitab aqidah dan petunjuk. Klasifikasi ini juga mengemukakan tentang pentingnya
aqidah dalam membentuk kepribadian manusia, membentuk sifat-sifatnya yang khas,
dan mengarahkannya menuju ke arah tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa faktor
utama dalam menilai kepribadian adalah berdasarkan aqidahnya.
a. Orang-orang
Beriman
Orang-orang yang beriman banyak disebut oleh Allah
dalam al-Quran dan tingkah laku mereka banyak diuraikan baik dalam aqidah,
ibadah, moral, hubungan dengan orang lain, hubungan kekeluargaan, cinta kepada
ilmu pengetahuan, kehidupan praktis mereka, dan upaya mereka untuk mencari
rizki, serta sifat-sifat mereka. Sifat-sifat orang yang beriman dapat
diklasifikasikan dalam bidang perilaku pokok antara lain:
1) Sifat yang
berkenaan dengan aqidah: beriman kepada Allah, para Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya,
malaikat, hari akhir, kebangkitan dan perhitungan, surga dan neraka, hal yang
gaib, serta qada’ dan qadar.
2) Sifat yang
berkenaan dengan ibadah: menyembah Allah, melaksanakan kewajiban shalat,
berpuasa, zakat, haji, berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa, bertaqwa
kepada Allah dll.
3) Sifat yang
berkenaan dengan hubungan sosial: bergaul dengan orang lain dengan baik,
dermawan dan suka berbuat kebajikan, menyeru pada kebaikan dan mencegah
kemungkaran, memaafkan, mementingkan kepentingan bersama, dan menghindarkan
diri dari hal yang tiak bermanfaat.
4) Sifat yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan:
berhubungan baik dengan keluarga baik kedua orang tua, suami isteri atau
kerabat.
5) Sifat moral:
sabar, berlapang dada, lurus, adil, melaksanakan amanat, menepati janji,
menjauhi dosa, merendahkan diri, teguh dalam kebenaran, luhur jiwa, dan mampu
mengendalikan hawa nafsu.
6) Sifat emosional
dan sensual: cinta kepada Allah, takut akan azab Allah,, tidak putus asa akan
rahmat Allah, cinta dan senang berbuat kebajikan kepada sesama, mengendalikan
kemarahan, tidak memusuhi atau menyakiti orang lain, dll.
7) Sifat intelektual
dan kognitif: memikirkan alam semesta dan ciptaan Allah, selalu menuntut ilmu,
tidak mengikuti sesuatu yang masih merupakan dugaan, teliti dalam meneliti
realitas, dan berpikiran luas.
8) Sifat yang
berkenaan dengan kehidupan praktis dan profesional: tulus dalam bekerja dan
menyempurnakan pekerjaan, berusaha dengan giat dalam memperoleh rizki.
9) Sifat fisik:
kuat, sehat, bersih, dan suci dari najis.
Apabila sifat-sifat tersebut kita renungkan, maka
akan ditemukan sosok mukmin yang sempurna dan masih dalam batas kemampuan
manusia. Sifat-sifat tadi tidaklah lepas satu sama lainnya, namun saling
bersinergi dalam membentuk tingkah laku seorang mukmin. Oleh karenanya Allah
menghendaki agar kita merealisasikannya
secara nyata dalam kehidupan, juga dalam proses pendidikan, guna menumbuhkan sifat-sifat tersebut dalam diri
peserta didik.
Orang-orang yang beriman sendiri tidak berada pada
tingkat ketaqwaan yang sama, al-Quran sendiri telah mengemukakan
pengelompokannya: orang yang menganiaya dirinya sendiri, orang yang berada di
tengah-tengah, dan orang yang bersegera dalam berbuat kebaikan. Sebagaimana
firman Allah:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ
فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ
بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Artinya: “Kemudian Kitab itu Kami wariskan
kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara
mereka ada yang mengaiaya diri mereka sendiri, dan diantara mereka ada yang
pertengahan, dan diantara mereka ada (pula) yang lebih cepat berbuat kebaikan
dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” QS
Fathir: 32.[8]
Ibn Katsir dalam uraiannya tentang ayat ini berkata
bahwa maksud dari mereka yang menganiaya diri sendiri adalah orang yang
berlebih-lebihan dalam melaksanakan sebagian kewajibannya, tapi juga melanggar
sebagian larangan. Sedangkan orang yang di tengah-tengah adalah orang yang
melaksanakan kewajiban dan tidak melanggar larangan, namun ia kadang
meninggalkan sebagian hal yang dianjurkan dan melakukan sebagian hal yang
kurang diseyogyakan. Dan yang dimaksud dengan orang yang lebih cepat berbuat
kebaikan atas izin Allah adalah orang yang melaksanakan kebaikan dan hal yang
diseyogyakan dan meninggalan larangan, hal yang kurang diseyogyakan, dan hal yang
diperkenankan.
Sementara menurut al-Qurthubi, orang yang
menganiaya diri sendiri adalah orang yang melakukan dosa-dosa kecil, sedangkan
orang yang pertengahan adalah orang yang memberi dunia dan akhirat haknya
masing-masing, dan orang yang cepat berbuat kebaikan adalah orang yang paling
cepat dalam berbuat kebaikan.
Sedangkan dalam tafsir al Jalalain diuraikan bahwa
orang yang menganiaya dirinya sendiri adalah orang yang terbatas dalam beramal
kebaikan, orang yang pertengahan adalah orang yang dalam sebagian waktu berbuat
kebaikan, sementara orang yang cepat berbuat kebaikan adalah orang yang di
samping berbuat kebaikan juga mengajarkan dan mengarahkan orang lain untuk
beramal kebaikan.[9]
b. Orang-orang Kafir
Selain orang beriman, orang kafir pun banyak disebut dalam al-Quran
dengan berbagai sifat yang menjadi coraknya. Dalam al-Quran sendiri dipaparkan
bahwa kepribadian orang kafir adalah seperti dalam ayat berikut
خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ
وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Arinya: “Allah telah
mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan
bagi mereka siksa yang amat berat.” QS Al-Baqarah: 7.[10]
Sifat-sifat tersebut dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1) Sifat yang berkenaan
dengan aqidah: tidak beriman pada aqidah tauhid, para rasul, hari kemudian, hari kebangkitan, dan hari
perhitungan.
2) Sifat yang
berkenaan dengan ibadah: menyembah selain Allah yang tidak mendatangkan manfaat
maupun mudharat bagi mereka.
3) Sifat yang
berkenaan dengan hubungan sosial: dzalim, memusuhi tindakan orang beriman,
mengajak pada kemunkaran, dan melarang orang berbuat kebajikan.
4) Sifat yang
berkenaan dengan hubungan kekeluargaan: senang memutus silaturrahmi.
5) Sifat moral:
menuruti hawa nafsu, sombong, takabur.
6) Sifat emosional:
benci dan dengki terhadap orang yang beriman.
7) Sifat intelektual
dan kognitif: pikirannya statis, tidak mampu memahami dan berpikir, kalbu
tertutup, taqlid buta terhadap kepercayaan nenek moyang.[11]
c. Orang-orang
Munafik
Orang-orang munafik adalah kelompok manusia yang mempunyai kepribadian
yang lemah, peragu dan tidak memiliki sikap yang tegas dalam masalah keimanan.
Sifat-sifat mereka yang ada dalam al-Quran dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1) Sifat yang
berkenaan dengan aqidah: mereka tidak mempunyai sikap yang tegas terhadap
aqidah tauhid. Mereka menyatakan beriman apabila mereka berada di kalangan
orang-orang yang beriman, dan bila mereka berada di kalangan orang musyrik
mereka menunjukkan kemusyrikannya.
2) Sifat yang
berkenaan dengan ibadah: mereka melaksanakan ibadah hanya karena riya’, bukan
karena penerimaan penuh akan kewajiban.
3) Sifat yang
berkenaan dengan hubungan sosial: mereka
menyeru pada kemungkaran dan mencegah kebaikan, menarik perhatian orang-orang
kemudian menyebarkan isu untuk menimbulkan kericuhan.
4) Sifat moral dan
emosional: kurang percaya pada diri sendiri, suka mengingkari janji,
tindakannya didasarkan pada pamrih, hedonis dan oportunis. Penakut serta
pendengki.
5) Sifat intelektual
dan kognitif: peragu dan tidak mampu mengambil suatu keputusan dan ketetapan.
Tidak mampu berpikir secara benar, oleh karena itu al-Quran menyebut mereka
dengan orang-orang yang tertutup hatinya. Mereka cenderung mempertahankan
dirinya dengan mengemukakan berbagai alasan untuk mencari pembenaran.[12]
4. Kilah-Kilah
Mental dalam al-Qur’an
Kilah mental adalah tingkah laku defensif yang dilakukan seseorang untuk
menjaga dirinya dari perasaan gelisah yang mungkin menimpa apabila dorongan
yang sebenarnya ia sembunyikan diketahui. Dalam menyembunyikan ini ia
menggunakan berbagai kilah mental. Kilah mental ini biasanya dilakukan oleh
orang munafik sebagai tingkah defensif. Dalam al-Quran dikemukakan bahwa ada
tiga kilah mental yang dilakukan oleh orang-orang munafik yaitu: proyeksi, justifikasi,
dan pembentukan reaksi.
a. Proyeksi
Proyeksi adalah kilah mental yang dilakukan seseorang dengan
memproyeksikan keadaan psikisnya, dorongannya, kekurangan dirinya, dan
kesalahannya pada orang lain. Sehingga dalam pemahamannya semua itu ada dalam
diri orang lain, bukan pada dirinya sendiri, yang pada akhirnya mereka
cenderung suudzon terhadap orang lain. Hal ini dikemukakan dalam al-Quran dalam
uraian tentang orang munafik yang mengira setiap teriakan yang bmereka dengar
dari kaum muslimin ditujukan pada mereka.[13]
وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ
أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ
مُسَنَّدَةٌ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ هُمُ الْعَدُوُّ
فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
Artinya:
“Dan apabila engkau melihat mereka, tubuh mereka mengagumkanmu. Dan jika
mereka berkata, engkau mendengarkan tutur katanya. Mereka seakan-akan kayu yang
tersandar. Mereka mengira bahwa setiap teriakan ditujukan kepada mereka. Mereka
itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah
membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran)”
QS al-Munafiqun: 4.[14]
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa setiap teriakan yang mereka dengarkan mereka kira
ditujukan kepada mereka dan mereka mengira bahwa kaum muslimin hendak
menghancurkan mereka. Ini merupakan akibat rasa permusuhan tersembunyi yang
mereka tujukan pada kaum muslimin. mereka memproyeksikan rasa permusuhan
tersebut. Padahal hal tersebut hanya ilusi dari proses proyeksi.
b. Justifikasi
Justifikasi adalah kilah mental yang dilakukan seseorang dalam upayanya
untuk mencari alasan bagi dorongan atau tindakan yang tidak diterima, dengan
memberikan interpretasi baginya sehingga bisa diterima. Misalnya, apabila
mereka berbuat kerusakan di muka bumi, mereka menyatakan bahwa maksud mereka
adalah untuk memperbaiki keadaan.
c. Pembentukan
reaksi
Pembentukan reaksi merupakan suatu kilah mental dimana seseorang
melakukan suatu yang berlawanan dengan tindakan lain yang ingin disembunyikan.
Misalnya, seseorang akan banyak berbasa-basi, bertata krama, dan perhatian
dalam bergaul guna menutupi kebenciannya, sehingga reaksi yang terbentuk dari
orang lain adalah menyambut kebaikan semunya tadi.[15]
C. Kesimpulan
1. Dalam diri manusia terdapat dua aspek, yaitu
aspek spiritual dan aspek material dimana keduanya sering menimbulkan konflik
psikis sehingga dalam pemenuhannya harus seimbang.
2.
Dengan adanya dua aspek tersebut apabila keseimbangan antara
tubuh dan jiwa ini terealisasi, maka akan terealisasikanlah kepribadian manusia
dalam citranya yang hakiki dan sempurna, seperti yang tercermin dalam diri
Rasulullah.
3. Dalam al-Quran
ditemukan klasifikasi manusia berdasarkan aqidahnya yaitu: orang beriman, orang
kafir, dan orang
munafik. Masing-masing dari pola ini memiliki sifat umum yang membedakannya
satu sama lain.
4. Kilah mental adalah
tingkah laku defensif yang dilakukan seseorang untuk menjaga dirinya dari
perasaan gelisah yang mungkin menimpa apabila dorongan yang sebenarnya ia
sembunyikan diketahui. Dalam al-Quran dikemukakan bahwa ada tiga kilah mental
yang dilakukan oleh orang-orang munafik yaitu: proyeksi, justifikasi, dan
pembentukan reaksi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan
Terjemahannya (Madinah : Mujamma’ Khadim al-Haramain asy-Syarifatain
al-Malik Fahd li thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1990)
M. Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, (Bandung: Pustaka,
1997)
Rafy Sapuri, Psikologi
Islam Tuntunan Jiwa Manusia Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008)
Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004)
[1]
Rafy Sapuri, Psikologi
Islam Tuntunan Jiwa Manusia Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008)
hlm. 149.
[3]
M Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa (Bandung: Pustaka, 1997)
hlm. 240
[4]
Al-Qur’an dan Terjemahannya (Madinah : Mujamma’ Khadim al-Haramain
asy-Syarifatain al-Malik Fahd li thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1990) hlm.1021-1022
[5]
M. Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. hlm 244-249.
[6]
Al-Qur’an dan Terjemahannya. hlm. 623
[7]
M. Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. hlm. 254-255.
[8]
Al-Qur’an dan Terjemahannya. hlm. 700.
[9]
M. Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. 256-261.
[10]
Al-Qur’an dan Terjemahannya. hlm. 9.
[11]
M. Utsman Najati. Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. hlm. 261-262.
[12]
M. Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. 264-265.
[13]
Ibid., hlm. 266-267.
[14]
Al-Qur’an dan Terjemahannya. hlm. 936.
[15]
M. Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. hlm. 268-269.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar