Kamis, 12 Januari 2017

KEPRIBADIAN DALAM AL-QURAN


KEPRIBADIAN DALAM AL-QURAN

Oleh:
Aqim Durrotul Aimmah
Dewi Martalia K.
Iva Miftahul Jannah
Karina Nuraini

A.  Pendahuluan
Dalam membicarakan kepribadian, banyak orang yang menganggapnya sebagai pengaruh yang ditumbuhkan seseorang atas diri orang lain. Sementara para ahli ilmu jiwa memandang kepribadian sebagai struktur dan proses-proses kejiwaan tetap yang mengatur pengalaman-pengalaman seseorang dan membentuk tindakan-tindakandan responnya terhadap lingkungannya, dalam cara yang membedakannya dari orang lain.
Dalam al-Qur’an terdapat uraian tentang kepribadian manusia dan berbagai karakteristik umum yang membedakan manusia dari makhluk Allah yang lain. Selain itu terdapat pula uraian tentang pola-pola umum kepribadian yang diwarnai dengan sifat-sifat utama, juga berbagai faktor yang membentuk kepribadian.
B.  Pembahasan
1.    Kepribadian Manusia dan Konflik Psikis yang dialaminya
Dalam kamus Chaplin kata “tipe” memiliki pengertian sebagai “satu pengelompokan individu yang dapat dibedakan dari orang lain karena memiliki satu sifat khusus”. Setiap manusia memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Sejalan dengan itu, maka istilah kepribadian sampai saat ini belum bisa di definisikan secara mendetail, meskipun sudah ada beberapa teori yang membahas tentang itu.
Adapun pengertian kepribadian sebagaimana dikatakan oleh Allport yaitu organisasi yang dinamis dalam diri individu tentang sistem psiko-fisik yang menentukan penyesuainnya yang unik terhadap lingkungan. Kepribadian adalah istilah untuk menyebutkan tingkah laku seseorang secara terintegrasikan dan bukan hanya beberapa aspek saja dari keseluruhan itu. Kepribadian tidak menyatakan sesuatu yang bersifat statis, seperti bentuk badan atau ras tetapi menyertakan keseluruhan dan kesatuan dari tingkah laku seseorang. Kepribadian tidak berkembang secara pasif saja, tetapi orang menggunakan kapasitasnya secara aktif untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.[1]
Para psikolog memandang kepribadian sebagai struktur dan proses psikologis yang tetap, yang menyusun pengalaman-pengalaman individu serta membentuk berbagai tindakan dan respons individu terhadap lingkungan tempat hidup.  Dalam masa pertumbuhannya, kepribadian bersifat dinamis, berubah-ubah dikarenakan pengaruh lingkungan, pengalaman hidup, ataupun pendidikan. Kepribadian tidak terjadi secara serta merta, tetapi terbentuk melalui proses kehidupan yang panjang. Dengan demikian, apakah kepribadian seseorang itu baik atau buruk, kuat atau lemah, beradab atau biadab sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi dalam perjalanan kehidupan seseorang tersebut.[2]
Dalam kepribadian manusia terkandung berbagai sifat hewani yang tercermin dari berbagai kebutuhan fisik yang harus dipenuhi demi kelangsungan hidupnya. Selain itu terdapat pula sifat-sifat malaikat yang tercermin dari kerinduan spiritualnya untuk mengenal Allah, beriman, menyembah, dan memuji-Nya. Terkadang antara dua aspek kepribadian ini terjadi konflik seperti diisyaratkan dalam al-Qur’an.[3]
فَأَمَّا مَنْ طَغَى (٣٧) وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (٣٨) فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى (٣٩) وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (٤٠)  فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (٤١)
Artinya: “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” QS, an-Nazi’at 37-41.[4]
Dengan kehendak-Nya, Allah telah menetapkan bahwa manusia akan merasakan derita disamping berbagai kesulitan hidup lainnya berupa konflik psikis antara kebutuhan spiritual dan materialnya. Barangkali dengan kehendak-Nya pula, Allah telah menetapkan bahwa cara manusia menetapkan konflik ini merupakan ujian mendasar bagi manusia. Oleh karenanya, barang siapa yang mampu memadukan antara aspek-aspek material dan spiritualnya dalam kepribadiannya, dan berhasil merealisasikan keserasian dan keseimbangan antara dua aspek tersebut, maka ia dipandang berhasil dalam ujian tersebut
Dengan karunia dan hikmah-Nya, Allah membekali manusia dengan semua potensi yang diperlukannya untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dengan adanya akal agar dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Juga karunia untuk bebas memilih, agar ia mampu memberi keputusan tentang konflik tersebut dan memilih jalan yang dikehendaki untuk menyelesaikannya. Kebebasan kehendak manusia dan kebebasan dalam memilih jalan penyelesaian konflik ini merupakan landasan tanggung jawab dan perhitungan atas tindakan-tindakannya, dimana Allah pun sudah memberinya petunjuk. Dengan demikian dalam diri manusia terdapat kesiapan untuk melakukan kebaikan maupun keburukan.[5]
2.    Keseimbangan dalam Kepribadian
Di awal telah dikemukakan bahwa penyelesaian yang paling ideal dari konflik antara aspek-aspek fisik dan spiritual dalam diri manusia adalah dengan mengkompromikan antara keduanya. Ini dilakukan dengan memenuhhi berbagai kebutuhan fisik dalam batas yang diperkenankan oleh Allah dan pada saat yang sama juga memenuhi kebutuhan spiritualnya. Pengkompromian antara kebutuhan tubuh dan kebutuhan jiwa ini mungkin apabila seseorang dalam kehidupannya konsisten dengan sikap tengah-tengah dan moderat, dan menghindarkan diri dari berlebih-lebihan dalam memenuhi kebutuhn baik kebutuhan fisik maupun spiritual. Dalam Islam tidak terdapat kependetaan yang menentang sebagian dorongan fisik, juga tidak terdapat nihilisme mutlak yang mengizinkan pemenuhan sepuas-puasnya terhadap kebutuhan fisik.  Perlunya realisasi penyeimbangan dalam kepribadian ini sesuai dengan firman Allah:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ  وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا...  
Artinya: “dan carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi...” (QS. Al-Qashash : 77)[6]
Apabila keseimbangan antara tubuh dan jiwa ini terealisasi, maka akan terealisasikanlah kepribadian manusia dalam citranya yang hakiki dan sempurna, seperti yang tercermin dalam diri Rasulullah. Beliau selalu menyembah Allah dalam kekhusyukan dan kebeningan hati yang penuh, sementara sebagai manusia beliau juga menikmati dunia dalam batas-batas yang diperkenankan agama. Oleh karena itu, beliau adalah cerminan manusia sempurna dan kepribadian manusiawi yang ideal dan paripurna dimana semua kekuatan fisik dan spiritualnya seimbang. Keseimbangan antara tubuh dan jiwa dalam kepribadian manusia adalah contoh keseimbangan yang ada dalam alam semesta.[7]

3.    Pola-Pola Kepribadian dalam al-Qur’an
Dalam berbagai kurun sejarah, para pemikir, seperti ahli ilmu jiwa modern, telah berusaha mengkaji berbagai segi keserupaan dan perbedaan antara berbagai kepribadian manusia. Mereka juga telah mengklasifikasikan manusia dalam berbagai pola kepribadiaan, dimana masing-masing pola diwarnai dengan sejumlah sifat atau karakteristik. Dari ahli-ahli tersebut ada yang mengklasifikasikannya berdasarkan karakter fisik, dan ada pula yang mengklasifikasikannya berdasarkan keserupaan sifat psikis.
Dalam al-Quran ditemukan klasifikasi manusia berdasarkan aqidahnya yaitu: orang beriman, orang kafir, dan orang munafik. Masing-masing dari pola ini memiliki sifat umum yang membedakannya satu sama lain. Klasifikasi manusia berdasarkan aqidah ini sesuai dengan tujuan al-Quran dalam kedudukannya sebagai kitab aqidah dan petunjuk. Klasifikasi ini juga mengemukakan tentang pentingnya aqidah dalam membentuk kepribadian manusia, membentuk sifat-sifatnya yang khas, dan mengarahkannya menuju ke arah tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa faktor utama dalam menilai kepribadian adalah berdasarkan aqidahnya.
a.    Orang-orang Beriman
Orang-orang yang beriman banyak disebut oleh Allah dalam al-Quran dan tingkah laku mereka banyak diuraikan baik dalam aqidah, ibadah, moral, hubungan dengan orang lain, hubungan kekeluargaan, cinta kepada ilmu pengetahuan, kehidupan praktis mereka, dan upaya mereka untuk mencari rizki, serta sifat-sifat mereka. Sifat-sifat orang yang beriman dapat diklasifikasikan dalam bidang perilaku pokok antara lain:
1)   Sifat yang berkenaan dengan aqidah: beriman kepada Allah, para Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, malaikat, hari akhir, kebangkitan dan perhitungan, surga dan neraka, hal yang gaib, serta qada’ dan qadar.
2)   Sifat yang berkenaan dengan ibadah: menyembah Allah, melaksanakan kewajiban shalat, berpuasa, zakat, haji, berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa, bertaqwa kepada Allah dll.
3)   Sifat yang berkenaan dengan hubungan sosial: bergaul dengan orang lain dengan baik, dermawan dan suka berbuat kebajikan, menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, memaafkan, mementingkan kepentingan bersama, dan menghindarkan diri dari hal yang tiak bermanfaat.
4)   Sifat  yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan: berhubungan baik dengan keluarga baik kedua orang tua, suami isteri atau kerabat.
5)   Sifat moral: sabar, berlapang dada, lurus, adil, melaksanakan amanat, menepati janji, menjauhi dosa, merendahkan diri, teguh dalam kebenaran, luhur jiwa, dan mampu mengendalikan hawa nafsu.
6)   Sifat emosional dan sensual: cinta kepada Allah, takut akan azab Allah,, tidak putus asa akan rahmat Allah, cinta dan senang berbuat kebajikan kepada sesama, mengendalikan kemarahan, tidak memusuhi atau menyakiti orang lain, dll.
7)   Sifat intelektual dan kognitif: memikirkan alam semesta dan ciptaan Allah, selalu menuntut ilmu, tidak mengikuti sesuatu yang masih merupakan dugaan, teliti dalam meneliti realitas, dan berpikiran luas.
8)   Sifat yang berkenaan dengan kehidupan praktis dan profesional: tulus dalam bekerja dan menyempurnakan pekerjaan, berusaha dengan giat dalam memperoleh rizki.
9)   Sifat fisik: kuat, sehat, bersih, dan suci dari najis.
Apabila sifat-sifat tersebut kita renungkan, maka akan ditemukan sosok mukmin yang sempurna dan masih dalam batas kemampuan manusia. Sifat-sifat tadi tidaklah lepas satu sama lainnya, namun saling bersinergi dalam membentuk tingkah laku seorang mukmin. Oleh karenanya Allah menghendaki  agar kita merealisasikannya secara nyata dalam kehidupan, juga dalam proses pendidikan, guna  menumbuhkan sifat-sifat tersebut dalam diri peserta didik.
Orang-orang yang beriman sendiri tidak berada pada tingkat ketaqwaan yang sama, al-Quran sendiri telah mengemukakan pengelompokannya: orang yang menganiaya dirinya sendiri, orang yang berada di tengah-tengah, dan orang yang bersegera dalam berbuat kebaikan. Sebagaimana firman Allah:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Artinya: “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang mengaiaya diri mereka sendiri, dan diantara mereka ada yang pertengahan, dan diantara mereka ada (pula) yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” QS Fathir: 32.[8]
Ibn Katsir dalam uraiannya tentang ayat ini berkata bahwa maksud dari mereka yang menganiaya diri sendiri adalah orang yang berlebih-lebihan dalam melaksanakan sebagian kewajibannya, tapi juga melanggar sebagian larangan. Sedangkan orang yang di tengah-tengah adalah orang yang melaksanakan kewajiban dan tidak melanggar larangan, namun ia kadang meninggalkan sebagian hal yang dianjurkan dan melakukan sebagian hal yang kurang diseyogyakan. Dan yang dimaksud dengan orang yang lebih cepat berbuat kebaikan atas izin Allah adalah orang yang melaksanakan kebaikan dan hal yang diseyogyakan dan meninggalan larangan, hal yang kurang diseyogyakan, dan hal yang diperkenankan.
Sementara menurut al-Qurthubi, orang yang menganiaya diri sendiri adalah orang yang melakukan dosa-dosa kecil, sedangkan orang yang pertengahan adalah orang yang memberi dunia dan akhirat haknya masing-masing, dan orang yang cepat berbuat kebaikan adalah orang yang paling cepat dalam berbuat kebaikan.
Sedangkan dalam tafsir al Jalalain diuraikan bahwa orang yang menganiaya dirinya sendiri adalah orang yang terbatas dalam beramal kebaikan, orang yang pertengahan adalah orang yang dalam sebagian waktu berbuat kebaikan, sementara orang yang cepat berbuat kebaikan adalah orang yang di samping berbuat kebaikan juga mengajarkan dan mengarahkan orang lain untuk beramal kebaikan.[9]  
b.    Orang-orang Kafir
Selain orang beriman, orang kafir pun banyak disebut dalam al-Quran dengan berbagai sifat yang menjadi coraknya. Dalam al-Quran sendiri dipaparkan bahwa kepribadian orang kafir adalah seperti dalam ayat berikut
خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Arinya: “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” QS Al-Baqarah: 7.[10]
Sifat-sifat tersebut dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1)   Sifat yang berkenaan dengan aqidah: tidak beriman pada aqidah tauhid, para rasul, hari  kemudian, hari kebangkitan, dan hari perhitungan.
2)   Sifat yang berkenaan dengan ibadah: menyembah selain Allah yang tidak mendatangkan manfaat maupun mudharat bagi mereka.
3)   Sifat yang berkenaan dengan hubungan sosial: dzalim, memusuhi tindakan orang beriman, mengajak pada kemunkaran, dan melarang orang berbuat kebajikan.
4)   Sifat yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan: senang memutus silaturrahmi.
5)   Sifat moral: menuruti hawa nafsu, sombong, takabur.
6)   Sifat emosional: benci dan dengki terhadap orang yang beriman.
7)   Sifat intelektual dan kognitif: pikirannya statis, tidak mampu memahami dan berpikir, kalbu tertutup, taqlid buta terhadap kepercayaan nenek moyang.[11]
c.    Orang-orang Munafik
Orang-orang munafik adalah kelompok manusia yang mempunyai kepribadian yang lemah, peragu dan tidak memiliki sikap yang tegas dalam masalah keimanan. Sifat-sifat mereka yang ada dalam al-Quran dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1)   Sifat yang berkenaan dengan aqidah: mereka tidak mempunyai sikap yang tegas terhadap aqidah tauhid. Mereka menyatakan beriman apabila mereka berada di kalangan orang-orang yang beriman, dan bila mereka berada di kalangan orang musyrik mereka menunjukkan kemusyrikannya.
2)   Sifat yang berkenaan dengan ibadah: mereka melaksanakan ibadah hanya karena riya’, bukan karena penerimaan penuh akan kewajiban.
3)   Sifat yang berkenaan dengan hubungan sosial:  mereka menyeru pada kemungkaran dan mencegah kebaikan, menarik perhatian orang-orang kemudian menyebarkan isu untuk menimbulkan kericuhan.
4)   Sifat moral dan emosional: kurang percaya pada diri sendiri, suka mengingkari janji, tindakannya didasarkan pada pamrih, hedonis dan oportunis. Penakut serta pendengki.
5)   Sifat intelektual dan kognitif: peragu dan tidak mampu mengambil suatu keputusan dan ketetapan. Tidak mampu berpikir secara benar, oleh karena itu al-Quran menyebut mereka dengan orang-orang yang tertutup hatinya. Mereka cenderung mempertahankan dirinya dengan mengemukakan berbagai alasan untuk mencari pembenaran.[12]
4.    Kilah-Kilah Mental dalam al-Qur’an
Kilah mental adalah tingkah laku defensif yang dilakukan seseorang untuk menjaga dirinya dari perasaan gelisah yang mungkin menimpa apabila dorongan yang sebenarnya ia sembunyikan diketahui. Dalam menyembunyikan ini ia menggunakan berbagai kilah mental. Kilah mental ini biasanya dilakukan oleh orang munafik sebagai tingkah defensif. Dalam al-Quran dikemukakan bahwa ada tiga kilah mental yang dilakukan oleh orang-orang munafik yaitu: proyeksi, justifikasi, dan pembentukan reaksi.
a.    Proyeksi
Proyeksi adalah kilah mental yang dilakukan seseorang dengan memproyeksikan keadaan psikisnya, dorongannya, kekurangan dirinya, dan kesalahannya pada orang lain. Sehingga dalam pemahamannya semua itu ada dalam diri orang lain, bukan pada dirinya sendiri, yang pada akhirnya mereka cenderung suudzon terhadap orang lain. Hal ini dikemukakan dalam al-Quran dalam uraian tentang orang munafik yang mengira setiap teriakan yang bmereka dengar dari kaum muslimin ditujukan pada mereka.[13]
 وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
Artinya: “Dan apabila engkau melihat mereka, tubuh mereka mengagumkanmu. Dan jika mereka berkata, engkau mendengarkan tutur katanya. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa setiap teriakan ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran)” QS al-Munafiqun: 4.[14]
Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap teriakan yang mereka dengarkan mereka kira ditujukan kepada mereka dan mereka mengira bahwa kaum muslimin hendak menghancurkan mereka. Ini merupakan akibat rasa permusuhan tersembunyi yang mereka tujukan pada kaum muslimin. mereka memproyeksikan rasa permusuhan tersebut. Padahal hal tersebut hanya ilusi dari proses proyeksi.
b.    Justifikasi
Justifikasi adalah kilah mental yang dilakukan seseorang dalam upayanya untuk mencari alasan bagi dorongan atau tindakan yang tidak diterima, dengan memberikan interpretasi baginya sehingga bisa diterima. Misalnya, apabila mereka berbuat kerusakan di muka bumi, mereka menyatakan bahwa maksud mereka adalah untuk memperbaiki keadaan.
c.    Pembentukan reaksi
Pembentukan reaksi merupakan suatu kilah mental dimana seseorang melakukan suatu yang berlawanan dengan tindakan lain yang ingin disembunyikan. Misalnya, seseorang akan banyak berbasa-basi, bertata krama, dan perhatian dalam bergaul guna menutupi kebenciannya, sehingga reaksi yang terbentuk dari orang lain adalah menyambut kebaikan semunya tadi.[15]




C.  Kesimpulan
1.     Dalam diri manusia terdapat dua aspek, yaitu aspek spiritual dan aspek material dimana keduanya sering menimbulkan konflik psikis sehingga dalam pemenuhannya harus seimbang.
2.    Dengan adanya dua aspek tersebut apabila keseimbangan antara tubuh dan jiwa ini terealisasi, maka akan terealisasikanlah kepribadian manusia dalam citranya yang hakiki dan sempurna, seperti yang tercermin dalam diri Rasulullah.
3.    Dalam al-Quran ditemukan klasifikasi manusia berdasarkan aqidahnya yaitu: orang beriman, orang kafir, dan orang munafik. Masing-masing dari pola ini memiliki sifat umum yang membedakannya satu sama lain.
4.    Kilah mental adalah tingkah laku defensif yang dilakukan seseorang untuk menjaga dirinya dari perasaan gelisah yang mungkin menimpa apabila dorongan yang sebenarnya ia sembunyikan diketahui. Dalam al-Quran dikemukakan bahwa ada tiga kilah mental yang dilakukan oleh orang-orang munafik yaitu: proyeksi, justifikasi, dan pembentukan reaksi.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya (Madinah : Mujamma’ Khadim al-Haramain asy-Syarifatain al-Malik Fahd li thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1990)
M. Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, (Bandung: Pustaka, 1997)
Rafy Sapuri, Psikologi Islam Tuntunan Jiwa Manusia Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008)
Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004)



[1] Rafy Sapuri, Psikologi Islam Tuntunan Jiwa Manusia Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) hlm. 149.

[2] Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004) hlm. 186.
[3] M Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa (Bandung: Pustaka, 1997) hlm. 240
[4] Al-Qur’an dan Terjemahannya (Madinah : Mujamma’ Khadim al-Haramain asy-Syarifatain al-Malik Fahd li thiba’at al-Mushaf asy-Syarif, 1990) hlm.1021-1022
[5] M. Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. hlm 244-249.
[6] Al-Qur’an dan Terjemahannya. hlm. 623
[7] M. Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. hlm. 254-255.
[8] Al-Qur’an dan Terjemahannya. hlm. 700.
[9] M. Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. 256-261.
[10] Al-Qur’an dan Terjemahannya. hlm. 9.
[11] M. Utsman Najati. Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. hlm. 261-262.
[12] M. Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. 264-265.
[13] Ibid., hlm. 266-267.
[14] Al-Qur’an dan Terjemahannya. hlm. 936.
[15] M. Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. hlm. 268-269.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar