Kamis, 12 Januari 2017

MASHLAHAH MURSHALAH

MASHLAHAH MURSHALAH

MAKALAH USHUL FIQH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Saleem Arrofik, M.Sy




Oleh :

Dewi Martalia Kurniasari






PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUSSALAM


2016



KATA PENGANTAR


            Puji syukur saya panjatkan kehadiran kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat-Nya  saya dapat menyelesaikan makalah ini.
            Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W yang diutus sebagai rahmat untuk sekalian alam dan membimbing umat ke jalan yang lurus.
            Ribuan terima kasih saya ucapkan kepada :
1.        Bapak Saleem Arrofik, M.Sy yang telah memberikan pengarahan atas terselesaikannya makalah ini.
2.        Pihak-pihak yang membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
3.        Teman-teman semester III.
Makalah  ini disusun sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Ushul fiqh. Saya  menyadari tentunya makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya saya senantiasa mengharap adanya kritik dan saran guna perubahan yang lebih baik kedepannya. Kendati demikian, saya berharap makalah  ini bermanfaat bagi para pembaca. Akhir kata, permohonan maaf kami haturkan atas segala kekurangan dalam makalah ini.





Krempyang,  7 Oktober  2016


          Penulis




DAFTAR  ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iii

BAB 1          PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang ............................................................................................ 1
B.       Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
C.       Tujuan Pembahasan ..................................................................................... 1

BAB II         PEMBAHASAN
A.      Pengertian Mashlahah.................................................................................. 2
B.       Klasifikasi Mashlahah dan Contohnya......................................................... 3
C.       Mashlahah Mursalah dan Kehujjahannya..................................................... 6
D.      Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Mashlahah Mursalah....................... 8

BAB III       PENUTUP
A.    Kesimpulan ................................................................................................. 10
B.     Saran ........................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 11





  
BAB  I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Seluruh hukum yang ditetapkan Allah SWT. atas hamba-Nya dalam bentuk perintah atau larangan adalah mengandung maslahat. Tidak ada hukum syara’ yang sepi dari maslahat. Seluruh perintah Allah bagi manusia untuk melakukannya mengandung manfaat untuk dirinya baik secara langsung maupun tidak. Manfaat itu ada yang dapat dirasakannya pada waktu itu juga dan ada yang dirasakan sesudahnya. Begitu pula dengan semua larangan Allah untuk dijauhi manusia. Di balik larangan itu terkandung kemaslahatan, yaitu terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan.
Dalam perkembangan Islam banyak sekali dasar yang telah menjadi dasar hukum yang kita ketahui selain Al-Qur’an dan As-Sunnah dimana contohnya Ijma, Qiyas, Istihsan,  Mashlahah Mursalah  dan lain sebagainya. Sebagaimana sudah menjadi perbincangan para ulama ushul fiqih. Dan banyak pula perbedaan para ulama-ulama ushul fiqih dan para imam-imam, salah satu metode yang dikembangkan ulama ushul fiqh dalam mengistinbatkan hukum dari nash adalah mashlahah mursalah.

B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik beberapa masalah sebagai berikut
1.    Bagaimana pengertian mashlahah?
2.    Bagaimana klasifikasi mashlahah?
3.    Bagaimana mashlahah mursalah dan kehujjahannya?
4.    Bagaimana perbedaan pendapat ulama mengenai mashlahah mursalah?

C.  Tujuan
Tujuan pembahasan makalah ini antara lain
1.    Mengetahui dan memahami pengertian mashlahah.
2.    Mengetahui dan memahami klasifikasi mashlahah.
3.    Mengetahui dan memahami  mashlahah mursalah dan kehujjahannya.
4.    Mengetahui dan memahami perbedaan pendapat ulama mengenai mashlahah mursalah.



BAB  II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Mashlahah
Sebelum menjelaskan arti mashlahah mursalah, terlebih dahulu perlu dibahas tentang mashlahah, karena mashlahah mursalah merupakan salah satu bentuk dari mashlahah. Mashlahah berasal dari kata shalaha yang secara arti kata berarti baik. Pengertian mashlahah dalam bahasa Arab berarti perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam artinya yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan, atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemadharatan.
Sementara secara terminologi, beberapa ahli dan ulama memiliki pendapat yang berbeda namun jika dianalisis hakikatnya adalah sama.
1.    Al Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya bahwa mashlahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan madharat, dan hakikat dari mashlahah sendiri adalah memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum).
2.    Al ‘Iez ibn Abd As Salam memberikan arti mashlahah dalam bentuk hakikinya dengan kesenangan dan kenikmatan, sedangkan bentuk majazinya adalah sebab-sebab yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan tersebut.
3.    Al Syatibi mengartikan mashlahah dalam dua pandangan, yaitu dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataan, dan dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada mashlahah.
a.    Dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataan, yaitu sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya secara mutlak.
b.    Dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada mashlahah, yaitu kemashlahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syara’, untuk meghasilkannya, Allah menuntut manusia untuk berbuat.
4.    Al Thufi mendefinisikan mashlahah sebagai ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadat atau adat.
Dari beberapa definisi tentang mashlahah dengan rumusan yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Dari kesimpulan tersebut terlihat adanya perbedaan antara mashlahah dalam pengertian bahasa (umum) dengan mashlahah dalam pengertian hukum atau syara’. Perbedaannya terlihat dari segi tujuan syara’ yang dijadikan rujukan. Mashlahah dalam pengertian bahasa merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya mengandung pengertian untuk mengikuti syahwat dan hawa nafsu. Sedangkan pada mashlahah dalam artian syara’ yang menjadi titik bahasan dalam ushul fiqh, yang selalu menjadi ukuran atau rujukannya adalah tujuan syara’ yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda tanpa melepaskan tujuan pemenuhan manusia.[1]

B.  Klasifikasi Mashlahah dan Contohnya
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa mashlahah dalam artian syara’ bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan karena dapat mendatangkan kenikmatan dan menghindarkan kerusakan, tapi lebih dari itu, bahwa apa yang dianggap baik oleh akal juga harus sejalan dengan syara’ dalam menetapkan hukum. Kekuatan mashlahah dapat dilihat dari segi tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, yang berkaitan dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia. Juga dapat dilihat dari segi tingkat kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal tersebut. Selain itu dapat pula diklasifikasikan menurut isi kandungan mashlahah dan menurut berubah atau tidaknya mashlahah.
1.    Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum
a.     Mashlahah Dharuriyah
Mashlahah dharuriyah adalah kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh umat manusia, artinya kehidupan manusia tidak akan berarti apa-apa bila saja satu dari lima prinsip tersebut tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau mashlahah dalam tingkat dharuri. Karena itu Allah memerintahkan manusia melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan pokok tersebut juga sebaliknya.
Sebagai contoh, dalam hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara agama, melarang membunuh untuk memelihara jiwa, melarang minum minuman keras untuk memelihara akal, melarang berzina untuk memelihara keturunan, dan melarang mencuri untuk memelihara harta.
b.    Mashlahah Hajiyah
Mashlahah hajiyah adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri. Bentuk kemashlahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima, tetapi secara tidak langsung menuju ke arah sama seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Mashlahah hajiyah jika tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia juga tidak secara langsung menyebabkan kerusakan lima unsur pokok tersebut.
Contoh Mashlahah hajiyah adalah menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama, makan untuk kelangsungan hidup, mengasah otak untuk kesempurnaan akal, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta, dan juga sebaliknya.
c.    Mashlahah Tahsiniyah
Mashlahah tahsiniyah adalah mashlahah yang tingkat kebutuhan hidup manusia padanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai pada tingkat haji, namun mashlahah tersebut perlu dipenuhi bagi kesempurnaan dan keindahan hidup manusia. Contoh yang termasuk dalam usaha-usaha penyempurnaan terhadap apa yang pantas dan apa yang tidak pantas, seperti kesopanan-kesopanan dalam berbicara, makan dan minum, pembelanjaan harta dengan sedang, yakni tidak terlalu menghambur dan tidak pula terlalu kikir
2.    Dari segi kandungan mashlahah
a.    Mashlahah al Ammah
Yaitu kemashlahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemashlahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas atau kebanyakan umat. Contoh mashlahah al ammah adalah para ulama’ membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
b.    Mashlahah al Khashshah
Yaitu kemashlahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemashlahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang.
Pentingnya pembagian kedua mashlahah ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemashlahatan umum bertentangan dengan kemashlahatan pribadi. Dalam pertentangan ini Islam mendahulukan kemashlahatan umum daripada kemashlahatan pribadi.
3.    Dari segi berubah atau tidaknya mashlahah
Dari segi berubah atau tidaknya mashlahah, menurut Muhammad Musthafa Al-Syalabi, guru besar ushul fiqh di Universitas Al-Azhar Mesir, ada dua bentuk yaitu:
a.    Mashlahah al Tsabitah
Yaitu kemashlahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya kewajiban ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
b.    Mashlahah al Mutaghayyirah
Yaitu kemashlahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemashlahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Perlunya pembagian ini, dimaksudkan untuk memberikan batasan kemashlahatn mana yang bisa dirubah dan mana yang tidak.[2]
4.    Dari segi adanya keserasian dan kesejalanan antara akal dan tujuan syara’
a.    Mashlahah al Mu’tabarah
Mashlahah al mu’tabarah adalah mashlahah yang diperhitungkan oleh syara’. Maksudnya ada petunjuk dari syara’, baik langsung maupun tidak langsung, yang memberikan petunjuk pada adanya mashlahah yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum. Dari langsung tidaknya dalil terhadap mashlahah tersebut, dibagi menjadi dua yaitu:
1)   Munasib mu’atstsir
Yaitu adanya petunjuk langsung dari pembuat hukum syara’ yang memperhatikan mashlahah tersebut dalam bentuk nash atau ijma’  yang menetapkan bahwa mashlahah itu dijadikan alasan dalam menetapkan hukum.
Contoh dalil nash yang menunjuk langsung pada mashlahah, umpamanya tidak baiknya mendekati perempuan yang sedang haid dengan alasan haid itu adalah penyakit. Hal ini disebut mashlahah karena menjauhkan diri dari kerusakan dan penyakit. Alasan adanya “penyakit”  tadi yang dikaitkan dengan larangan mendekati perempuan, disebut munasib. Hal ini ditegaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 222:
وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ
Artinya:   “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu adalah penyakit, oleh karenanya jauhilah perempuan yang sedang haid”
Jadi Contoh dalil yang  merujuk langsung kepada mashlahah dalam bentuk ijma’, umpamanya menetapkan kewalian ayah terhadap harta anak-anaknya dengan ‘illat “belum dewasa”. Adanya hubungan belum dewasa dengan hukum perwalian adalah mashlahah atau munasib. Dalam hal ini ijma’ sendiri yang mengatakan demikian.
2)   Munasib mulaim
Munasib mulaim yaitu tidak ada petunjuk langsung dari syara’ baik dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian syara’ terhadap mashlahah tersebut, namun secara tidak langsung ada. Jadi meskipun syara’ secara langsung tidak menetapkan suatu keadaan menjadi alasan untuk menetapkan hukum yang disebutkan, namun ada petunjuk syara’ bahwa keadaan itulah yang ditetapkan syara’ sebagai alasan untuk hukum yang sejenis.
Contoh dari Munasib mulaim yaitu bolehnya jama’ sholat bagi orang yang muqim karena hujan. Keadaan hujan itu memang tidak pernah dijadikan alasan untuk hukum jama’ shalat, namun syara’ melalui ijma’ menetapkan keadaan yang sejenis dengan hujan yaitu dalam perjalanan menjadi alasan untuk bolehnya jama’ shalat. Ataupun menetapkan keadaan dingin menjadi alasan untuk halangan shalat berjamaah. Tidak ada petunjuk dari syara’ untuk menetapkan dingin sebagai halangan sholat berjamaah, namun ada petunjuk bahwa keadaan yang sejenis dengan dingin tersebut yaitu perjalanan sebagai alasan bagi hukum yang sejenis dengan meninggalkan shalat jamaah, yaitu jama’ shalat. Dingin itu sejenis dengan perjalanan yaitu sama dalam hal menyulitkan, sedangkan meninggalkan shalat jamaah sejenis dengan jama’ shalat, yaitu sama-sama rukhsah hukumnya. Dari uraian diatas tampak bahwa pada bentuk mashlahah yang dalilnya tidak langsung masih ada petunjuk syara’ meskipun sangat kecil.
b.    Mashlahah al Mulghah
Mashlahah al mulghah atau mashlahah yang ditolak, yaitu mashlahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk syara’ yang menolaknya. Hal ini berarti akal menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan syara’ namun ternyata syara’ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh mashlahah tersebut.
Contoh Mashlahah al Mulghah adalah , di masa kini masyarakat telah mengakui emansipasi wanita untuk menyamakan derajatnya dengan laki-laki. Oleh karena itu akal menganggap baik untuk menyamakan hak perempuan dan laki-laki dalam memperoleh harta warisan. Hal ini pun dianggap sejalan dengan tujuan diterapkannya hukum Allah untuk memberikan hak waris kepada perempuan sebagaimana yang berlaku pada laki-laki. Namun hukum Allah telah jelas dan ternyata berbeda, yaitu hak waris anak laki-laki adalah dua kali lipat anak perempuan.
c.    Mashlahah al Mursalah
Yaitu kemashlahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula ditolak melalui dalil yang rinci. Kemashlahatan dalam bentuk ini dibagi menjadi dua bentuk yaitu :
1)   Mashlahah al gharibah
Yaitu kemashlahatan yang asing, atau kemashlahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun secara umum. Para ulama’ ushul fiqh tidak dapat mengemukakan contoh pastinya, bahkan Imam al Syatibi mengemukakan bahwa mashlahah ini tidak ditemukan dalam praktiknya sekalipun ada dalam teori.
2)   Mashlahah al mursalah
Yaitu mashlahah yang tidak didukung dalil nash secara rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadits).
C.  Mashlahah Mursalah dan Kehujjahannya
1.    Arti Mashlahah Mursalah
Mashlahah mursalah merupakan gabungan dua kata yang hubungan keduanya bersifat sifat-maushuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari al mashlahah. Tentang arti mashlahah sendiri telah dijelaskan diatas. Al mursalah secara bahasa artinya terlepas atau bebas. Kata terlepas atau bebas disini jika dihubungkan dengan kata mashlahah maksudnya terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidaknya dilakukan. Sementara secara terminologis, terdapat beberapa rumusan yang mendefinisikan mashlahah mursalah ini, namun masing-masing memiliki kesamaan yang berdekatan pengertiannya.
a.    Al Ghazali, mendefinisikan mashlahah mursalah sebagai apa-apa (mashlahah) yang tidak ada bukti baginya dan syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.
b.    Al Syaukani, mendefinisikan mashlahah mursalah sebagai mashlahah yang tidak diketahui apakah syara’ menolaknya atau memperhitungkannya.
c.    Ibnu Qudamah, mendefinisikan mashlahah mursalah sebagai mashlahah yang tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak pula yang memperhatikannya.
d.   Jalal al Din al Rahman mendefinisikan mashlahah mursalah sebagai mashlahah yang selaras dengan tujuan syara’ dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang penolakan atau pengakuannya.
e.    Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan mashlahah mursalah sebagai mashlahah yang sesuai dengan tujuan syariat Islam dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan pengakuan atau penolakannya.
Dari beberapa definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat mashlahah mursalah sebagai berikut:
a.    Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia.
b.    Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
c.    Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya.[3]
Adapun yang menjadi objek mashlahah mursalah adalah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasarnya. Prinsip yang disepakati oleh kebanyakan pengikut mazhab yang ada dalam fiqh, menurut Imam Al Qarafi Ath Thusi menjelaskan bahwa mashlahah murasalah itu sebagai dasar untuk menetapkan dalam bidang muamalah dan semacamnya, sedangkan dalam soal ibadah adalah Allah SWT yang menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah ibadah itu.

2.    Kehujjahan Mashlahah Mursalah
a.    Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima mashlahah murshalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas penerapannya. Untuk menjadikan mashlahah murshalah sebagai dalil, keduanya mensyaratkan:
1)   Kemashlahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemashlahatan yang didukung nash secara umum
2)   Kemashlahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui mashlahah murshalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindarkan madharat
3)   Kemashlahan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
b.    Golongan Syafi’iyah pada dasarnya juga mendasarkan mashlahah murshalah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi Imam Asy Syafi’i memasukkannya dalam qiyas. Al Ghazali mensyaratkan kemashlahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbathkan hukum, antara lain:
1)   Mashlahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’
2)   Mashlahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’
3)   Mashlahah itu termasuk kedalam kategori yang dharuri, baik yang menyangkut kemashlahatan pribadi maupun kemashlahatan orang banyak dan universal, yang berlaku sama untuk semua orang.[4]
c.    Jumhur ulama menerima mashlahah murshalah sebagai istinbath hukum dengan alasan:
1)   Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemashlahatan bagi umat manusia dalam hubungan ini Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya:    “Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh manusia.” QS Al Anbiya 107
Menurut jumhur ulama, Rasulullah menjadi rahmat juga dalam rangka memenuhi kemashlahatan umat manusia. Selanjutnya ketentuan dalam ayat-ayat Al-Quran  dan sunnah Rasulullah , seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemashlahatan  umat manusia, di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan mashlahah terhadap sumber hukum lain yang juga mengandung kemashlahatan adalah legal.
2)   Kemashlahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
3)   Jumhur ulama’ juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar bin Khattab tidak memberi bagian zakat kepada para muallaf, karena menurut Umar, kemashlahatan orang banyak menuntut untuk hal itu. Abu Bakar mengumpulkan nash al-Quran menurut saran dari Umar, sebagai salah satu kemashlahatan untuk melestarikan al-Quran dan menuliskan al-Quran pada satu logat bahasa di zaman Utsman bin Affan demi memelihara tidak terjadinya perbedaan bacaan al-Quran itu sendiri. [5]

D.  Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Mashlahah Mursalah
Selain beberapa ulama yang menggunakan mashlahah mursalah sebagai dalil, ada pula beberapa ulama fiqh yang menolaknya. Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa mashlahah mursalah tidak sah menjadi landasan hukum dalam bidang ibadah, karena bidang ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya diwariskan oleh Rasulullah. Namun merekaa berbeda pendapat dalam bidang muamalat. Kalangan Zahiriyah, sebagian dari kalangan Syafi’iyah dan Hanafiyah tidak mengakui mashlahah mursalah sebagai landasan pembentukan hukum, dengan alasan yang dikemukakan Abdul Karim Zaidan antara lain:
1.    Allah dan Rasulnya telah merumuskan ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin segala bentuk kemashlahatan manusia. Menetapkan hukum berdasarkan mashlahah mursalah, berarti menganggap syariat Islam tidak lengkap karena menganggap masih ada mashlahah yang belum tertampung oleh hukum-hukum-Nya. Hal seperti itu bertentangan dengan ayat 36 surat al Qiyamah:
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
Artinya: Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?”
2.    Membenarkan mashlahah mursalah sebagai landasan hukum berarti membuka pintu bagi berbagai pihak untuk menetapkan hukum menurut seleranya dengan alasan untuk meraih kemashlahatan. Praktik seperti itu akan merusak citra agama.[6]
3.    Seandainya dibolehkan berijtihad dengan mashlahah yang tidak mendapat dukungan dari nash, maka akan memberi kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’ karena alasan berubahnya waktu dan berlainannya tempat berlakunya hukum syara’, juga karena berlainan antara seorang dengan yang lain. Dalam keadaan demikian tidak akan ada kepastian hukum. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang universal dan lestari serta meliputi semua umat Islam.
Dengan alasan-alasan tersebut mereka menolak mashlahah mursalah sebagai landasan penetapan hukum. Berbeda dengan itu, kalangan Malikiyah dan Hanabilah, serta sebagian dari kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa mashlahah mursalah secara sah dapat dijadikan landasan penetapan hukum. Diantara alasannya adalah:
1.    Syariat Islam diturunkan bertujuan untuk merealisasikan kemashlahatan dan kebutuhan umat manusia. Kebutuhan manusia yang selalu berkembang tidak mungkin dirinci seluruhnya dalam al Quran dan sunnah.  Namun secara umum syariat Islam telah memberi petunjuk bahwa tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan umat. Oleh sebab itu, apa-apa yang dianggap mashlahah selama tidak bertentangan dengan al Quran dan sunnah, maka sah dijadikan landasan hukum.
2.    Adanya takrir Nabi atas penjelasan Mu’adz bin Jabal yang akan menggunakan ijtihad bil ra’yi jika tidak menemukan ayat al Quran dan sunnah Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau sesuatu yang dianggap mashlahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebani untuk mencari dukungan nash.
3.    Para sahabat dalam berijtihad menganggap sah mashlahah mursalah sebagai landasan hukum tanpa ada seorang pun yang membantah. Dimana pada praktiknya tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, tetapi perlu dilakukan.
4.    Suatu mashlahah bila telah nyata kemashlahatannya dan telah sesuai dengan tujuan syara’, maka menggunakan mashlahah tersebut berarti telah memenuhi tujuan syara’, meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya.
5.    Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan  mashlahah mursalah maka akan menempatkan umat dalam kesulitan. Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan untuk hamba-Nya dan menjauhkan dari kesulitan.
Bila diperhatikan perbedaan pendapat dengan argumen masing-masing ulamayang menerima dan menolak metode mashlahah mursalah dalam ijtihad, tampaknya tidak ada perbedaan secara prinsip. Kelompok yang menerima tidak menerima secara mutlak bahkan menetapkan syarat yang berat. Dengan adanya persyaratan seperti itu, adanya kemungkinan mashlahah mursalah akan disalah gunakan oleh berbagai pihak dapat dihindarkan. Sedangkan yang menolak, dasar penolakannya adalah kekhawatiran akan kemungkinan tergelincir pada kesalahan jika menetapkan hukum sesuka hati, seandainya kekhawatiran ini dapat dihindarkan, umpamanya telah ditemukan garis kesamaan dengan prinsip asal, mereka juga akan menggunakan mashlahah mursalah.[7]


BAB   III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.    Pengertian mashlahah dalam bahasa Arab berarti perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam artinya yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan, atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemadharatan. Sementara secara terminologi bahwa mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
2.      Mashlahah diklasifikasikan dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum dibagi menjadi Mashlahah Dharuriyah, Mashlahah Hajiyah, dan Mashlahah Tahsiniyah. Dari segi kandungan mashlahah dibagi menjadi Mashlahah al Ammah, dan  Mashlahah al Khashshah. Dari segi berubah atau tidaknya mashlahah dibagi menjadi Mashlahah al Tsabitah, dan Mashlahah al Mutaghayyirah. Dari segi adanya keserasian dan kesejalanan antara akal dan tujuan syara’ dibagi menjadi Mashlahah al Mu’tabarah yang terdiri dari Munasib mu’atstsir, Munasib mulaim; Mashlahah al Mulghah; dan Mashlahah al Mursalah yang terdiri dari Mashlahah al gharibah dan Mashlahah al Mursalah.
3.      Mashlahah mursalah adalah
4.      Perbedaan pendapat ulama dalam menerima dan menolak mashlahah mursalah


DAFTAR  PUSTAKA

     Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Kencana, cet. 6 2011)
     Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, cet. 5 2014)



[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Kencana, cet. 6 2011) h. 345-347.
[2] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) h. 116-117.
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2. h. 354-356
[4] Kamus Ushul Fiqh
[5] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1. h.123-124
[6] Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, cet. 5 2014) h. 150-151.
[7] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2. h. 360-363



Tidak ada komentar:

Posting Komentar