Kamis, 12 Januari 2017

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

MAKALAH ILMU PENDIDIKAN

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL


Disusun  Untuk  Memenuhi  Tugas  Mata Kuliah Ilmu Pendidikan

Dosen  Pengampu : Toha Mahsun, S.Pd.I, M.Sy







Oleh :
1.  APRILIANA
2.  AQIM DURROTUL AIMAH
3.  DEWI MARTALIA KURNIASARI




PROGAM STUDY MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUSSALAM

2016

KATA PENGANTAR
            Puji syukur kami panjatkan kehadiran kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat-Nya  saya dapat menyelesaikan makalah ini.
            Sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W yang diutus sebagai rahmat untuk sekalian alam dan membimbing umat ke jalan yang lurus.
            Ribuan terima kasih kami ucapkan kepada :
1.        Bapak Toha Mahsun, S.Pd.I, M.Sy yang telah memberikan pengarahan atas terselesaikannya makalah ini.
2.        Pihak-pihak yang membantu kami dalam menyelesaikan laporan ini.
3.        Teman-teman semester II.
Makalah  ini disusun sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan. Kami menyadari tentunya makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya kami senantiasa mengharap adanya kritik dan saran guna perubahan yang lebih baik kedepannya. Kendati demikian, kami berharap makalah  ini bermanfaat bagi para pembaca. Akhir kata, permohonan maaf kami haturkan atas segala kekurangan dalam makalah ini.





Krempyang,  7 Januari 2016

Penulis



DAFTAR  ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iii

BAB 1          PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang ....................................................................................... 1
B.       Rumusan Masalah ................................................................................... 1
C.       Tujuan Pembahasan ................................................................................ 1

BAB II         PEMBAHASAN
A.      Sejarah Munculnya Pendidikan Multikultural......................................... 2
B.        ................................................................................................................ 4
C.       ................................................................................................................. 5

BAB III       PENUTUP
A.    Kesimpulan .............................................................................................. 8
B.     Saran ........................................................................................................ 8

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 9




 BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Wacana tentang  pendidikan multikultural di Indonesia telah digaungkan oleh para pakar pendidikan sejak tahun 2000 melalui berbagai media seperti simposium, workshop, media massa, dan buku. Hal ini didasari oleh adanya fakta bahwa Indonesia merupakan negara yang mempunyai banyak problem tentang ekstensi sosial, etnik, dan kelompok keagamaan yang beragam. Terlebih ketika masa Orde Baru, pemerintah seperti mengabaikan perbedaan yang ada dan adanya semangat Bhineka Tungal Ika diterapkan lebih kepada ke-ika-annya dibanding ke-bhineka-annya. Penerapan yang timpang ini juga terjadi pada konsep dan praktik pendidikan di Indonesia.
Kondisi pendidikan di Indonesia seperti yang digambarkan di atas, menurut para pakar tidak memadai lagi untuk mewadahi masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural. Oleh karenanya, diperlukan transformasi paradigma pendidikan di Indonesia.
B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik beberapa masalah yaitu:
1.    Bagaimana pengertian pendidikan multikultural secara etimologis dan terminilogis?
2.    Bagaimana sejarah munculnya pendidikan multikultural?
3.    Bagaimana karakteristik dan dimensi pendidikan multikultural?
4.    Bagaimana pendekatan dalam proses pendidikan multikultural?
5.    Apa saja hambatan dalam pelaksanaan pendidikan multikltural?
C.  Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan makalah ini yaitu:
1.    Memahami pengertian pendidikan multikultural secara etimologis dan terminologis.
2.    Mengetahui sejarah munculnya pendidikan multikultural.
3.    Mengetahui karakteristik dan dimensi pendidikan multikultural.
4.    Mengetahui pendekatan dalam proses pendidikan multikultural.
5.    Mengetahui hambatan dalam pelaksanaan pendidikan multikultural.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Pendidikan Multikultural Secara Etimologis dan Terminologis
L.H. Ekstrand menyebutkan empat istilah yang sepadan dengan istilah pendidikan multikultural, yaitu: interethnic education, transcultural education, multienthnic education, dan cross cultural education. Selain itu, Barry van Driel juga mengemukakan dua istilah lain yaitu human right education, dan intercultural education, sementara UNESCO memperkenalkan istilah yang mereka sebut dengan inclusive education.
Beberapa istilah diatas menurut Ekstrand dan Diel memiliki pengertian yang sama, yaitu konsep pendidikan yang memberikan kesempatan yang setara kepada semua peserta didik se  dangkan istilah yang lazim digunakan di berbagai negara adalah intercultural education, multicultural education, dan inclusive education.
Secara etimologis, istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan multikultural. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik. Sementara kata multikultural diartikan sebagai keragaman budaya sebagai bentuk dari keragaman latar belakang seseorang. Dengan demikian secara etimologis pendidikan mulikultural dapat diartikan sebagai pendidikan yang memperhatikan keragaman budaya para peserta didik.
Adapun secara terminologis, definisi pendidikan multikultural dapat dijadikan dua kelompok yaitu: (1) definisi yang dibangun berdasarkan prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan, serta (2) definisi yang dibangun berdasarkan sikap sosial seperti pengakuan, penerimaan, dan penghargaan. Definisi pertama dapat dipahami sebagai konsep pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik. Adapun definisi yang dibangun berdasarkan sikap sosial merupakan pendidikan yang membantu para peserta didik untuk mengembangkan kemampuan mengenal, menerima, menghargai, dan merayakan keragaman kultural. Hal ini berimplikasi pada cita-cita luhur manusia untuk membangun kehidupan yang harmonis, aman, dan nyaman.[1]

B.  Sejarah Munculnya Pendidikan Multikultural
Gagasan tentang pentingnya pendidikan multikultural mulai mengemuka pada tahun 1970-an di Amerika, di antara sumber yang sedikit dan memberi informasi  tentang hal ini adalah Encyclopedia of Wikipedia dengan judul American Civil Rights Movement (1955-1968). Sumber ini memberi informasi bahwa kemunculan pendidikan multikultural di Amerika tidak dapat dilepaskan dengan peristiwa gerakan hak-hak sipil yang terjadi pada tahun 1960-an gerakan ini muncul dilatar belakangi oleh adanya praktik kehidupan diskriminatif, baik di tempat publik, tempat kerja, maupun lembaga pendidikan yang dilakukan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas.
Praktik pendidikan yang diskriminatif ini menuai protes dari para tokoh gerakan hak-hak sipil dan lembaga-lembaga ilmiah. Sehingga wacana tentang pendidikan multikultural ini terus bergulir hinga akhir abad ke-20, dimana kini pendidikan multikultural tidak hanya diwacanakan melainkan juga dipraktikkan di lembaga pendidikan di Amerika.
Wacana pendidikan multikultural ini pada pekembangan berikutnya juga menggema di negara-negara Eropa seperti Belgia, Jerman, Perancis, Inggris, Belanda, dan Swedia. Dimana di negara-negara tersebut setelah perang dunia II terjadi gelombang imigran yang luar biasa besar sehingga pluralitas penduduknya tidak dapat dihindari, sehingga mendorong adanya pesamaan hak  dan kewajiban antara penduduk asli dengan imigran yang sudah memiliki status kewarganegaraan yang sah.
Gema wacana pendidikan multikultural ternyata juga berhembus sampai ke Indonesia. Sejak tahun 2000, para pakar pendidikan gencar melaksanakan seminar, workshop, maupun diskusi, yang kemudian disusul dengan penelitian dan penerbitan buku dan jurnal bertema multikulturalisme. Beberapa isu yang diangkat dalam penelitian seperti halnya demokrasi, hak asasi manusia, kewarganegaraan, pendidikan, nasionalisme, konflik sosial, problem identitas dan etnisitas, dan lain-lain.
Munculnya gagasan ini dilatar belakangi dengan adanya fakta bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan banyak problem eksistensi sosial, etnik, dan kelompok keagamaan yang beragam. Terlebih ketika masa Orde Baru, pemerintah seperti mengabaikan perbedaan yang ada dan adanya semangat Bhineka Tungal Ika pun diterapkan lebih kepada ke-ika-annya dibanding ke-bhineka-annya. Penerapan yang timpang ini juga terjadi pada konsep dan praktik pendidikan di Indonesia.
Ada beberapa indikator yang menunjukkan adanya penekanan semangat ke-ika-an dalam praktik pendidikan di Indonesia seperti: (1) terjadinya penyeragaman kurikulum dan metode pembelajaran, (2) terjadi sentralisasi dalam pengelolaan pendidikan, yang sarat dengan instruksi, petunjuk, dan pengarahan dari atas, sebagai akibat dari paradigma pendidikan sentralistik, dan (3) belum adanya proses menghargai dan mengakomodasi perbedaan latar belakang peserta didik yang menyangkut budaya, etnik, bahasa, dan agama. [2]
Wacana pendidikan multikultural di Indonesia juga disebarkan oleh penulis melalui media massa. Banyak tulisan yang beredar di jurnal, surat kabar, dan majalah yang intinnya mengusulkan agar diterapkannya pendidikan multikultural di Indonesia. Mereka memandang bahwa dalam masyarakat yang multikultural, penerapan pendidikan multikultural merupakan suatu keharusan yang sangat mendesak. Bagi mereka pendidikan  multikultural dapat mendidik peserta didik untuk menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa membeda-bedakan budaya, etnik, gender, bahasa, maupun agama. Mata pelajaran yang dapat dijadikan sarananya antara lain Bahasa Indonesia dan Pendidikan Seni Nusantara.[3]
Tuntutan terhadap penerapan pendidikan multikultural ini mendapat respon yang positif dari pihak eksekutif dan legislatif. Hal ini terbukti dengan disahkannya undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengakomodasi nilai-nilai hak asasi manusia dan semangat multikultural. Bahkan nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan Pendidikan Nasional, sebagaimana termaktub dalam  Bab III pasal 4:
“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.”

C. Paradigma Pendidikan Multikultural
Dalam buku Paradigma Pendidikan Universal,  Ali Maksum menggambarkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau plural. Kemajemukan ini dapat dilihat dari sisi kesukuan, agama, bahasa, budaya, maupun dari sisi sosial seperti tingkat ekonomi dan pendidikan. Dengan adanya kemajemukan ini tentu mempunyai dampak baik positif maupun negatif.
Oleh karena itu diperlukan adanya paradigma baru yang lebih toleran berupa paradigma pendidikan multikultural. Hal ini dimaksudkan agar kita hendaknya lebih apresiatif terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keberagaman adalah kekayaan dari bangsa. Dengan adanya pandangan tersebut diharapkan sikap eksklusif yang ada dalam diri kita dan sikap membenarkan diri sendiri dapat dihilangkan atau diminimalisir.
Pendidikan multikultural biasanya memiliki ciri-ciri:
1.    Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”
2.    Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kultural.
3.    Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa.
4.    Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Peneguhan untuk berjalannya pendidikan multikultural ini dimaksudkan untuk membuka kesadaran bahwa multikulturalisme sebagaimana menurut Goodenough, adalah pengalaman normal manusia. Ia hadir dalam realitas empiris, sehingga harus diupayakan secara sistematis, progamatis, terintegrasi, dan berkesinambungan.
Dalam menjalankan pendidikan multikultural harus dikembangkan prinsip solidaritas, yakni kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan, bukan demi dirinya sendiri. Dengan demikian kehidupan multikultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain akan segera terwujud.[4]
  
D.  Karakteristik dan Dimensi Pendidikan Multikultural
Dengan memperhatikan definisi-definisi yang telah dikemukakan sebelumnya dapat diperoleh tiga karakteristik pendidikan multikultural, yaitu:
1.    Berprinsip pada Demokrasi, Kesetaraan, dan Keadilan.
Prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan merupakan prinsip yang mendasari pendidikan multikultural, baik pada level ide, proses, maupun gerakan. Ketiga prinsip ini menggaris bawahi bahwa semua anak memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Ketiga prinsip ini sejalan dengan program UNESCO tentang education for all (EFA), yaitu program pendidikan yang memberikan peluang yang sama kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan. Bagi UNESCO, EFA merupakan jantung kegiatan utama dari kegiatan pendidikan yang dilakukan selama ini.
Hal ini tidak hanya sebatas pada persamaan kesempatan, namun juga persamaan perlakuan dalam proses belajar, tanpa membedakan SARA maupun kapasitas intelektual peserta didik.
2.    Berorientasi pada Kemanusiaan, Kebersamaan, dan Kedamaian.
 Untuk mengembangkan ketiga prinsip yang telah disebutkan diatas, diperlukan orientasi hidup yang universal. Orientasi pertama yaitu kemanusiaan atau humanity sebagai nilai yang menempatkan peningkatan pengembangan  manusia, keberadaannya, dan martabatnya seebagai pemikiran dan tindakan manusia yang tertinggi. Orientasi yang kedua yaitu kebers amaan atau co-operation sebagai nilai yang mendasari terjadinya hubungan antar individu, individu dengan komunitas, maupun antar komunitas  dimana terdapat kesatuan perasaan dan sikap dari individu yang berbeda-beda. Orientasi yang ketiga yaitu kedamaian atau peace yang dapat diwujudkan dengan menghindari terjadinya kekerasan, peperangan, dan tindakan mementingkan diri sendiri dan dengan cara menghadirkan keadilan.
3.    Mengembangkan Sikap Mengakui, Menerima, dan Menghargai Keragaman.
Untuk mengembangkan orientasi hidup yang universal di tengah masyarakat yang majemuk diperlukan sikap sosial yang positif. Pengakuan, penerimaan, dan penghargaan merupakan sikap sosial yang diperlukan dalam membangun hubungan yang harmonis.[5] 

Sementara itu, James Banks (1944) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu sama lainnya, yaitu:
1.    Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran / disiplin ilmu.
2.    The knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran.
3.    An equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya, maupun sosial.
4.    Prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik latar belakang siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, berinteraksi dengan seluruh unsur pendidikan dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.[6]



E.   Pendekatan dalam Proses Pendidikan Multikultural
Terdapat beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:
1.    Perubahan paradigma dalam memandang pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal, dalam kaitan ini mengenai proporsi tanggung jawab pendidik, dimana harusnya taggung jawab tadi tidak semata berada pada pendidik karena terdapat pula program sekolah yang terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
2.    Menghilangkan pandangan yang mengidentikkan suatu kebudayaan dengan etnik tertentu, dan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih baik mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan peserta didik dari berbagai kelompok etnik.
3.    Pengembangan kompetensi dalam suatu kebudayaan baru biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang berkompeten.
4.    Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Adapun kebudayaan mana yang akan diadopsi itu ditentukan oleh situasi di sekitarnya.
5.    Pendidikan multikultural meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Hal ini akan menjauhkan kita dari konsep dwi-   budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan me ngembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta didik.[7]

F.   Hambatan-Hambatan dalam Implementasi Pendidikan Multikultural
Dalam menerapkan pendidikan multikultural di sekolah terdapat kemungkinan adanya hambatan seperti berikut:
1.    Perbedaan Pemaknaan terhadap Pendidikan Multikultural
Perbedaan pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam penerapannya. Multikultural seringkali dimaknai multi etnis, padahal pengertian multikultural lebih luas dari itu. H.A.R Tilaar menyebutkan bahwa pendidikan multikultular tidak hanya berkaitan dengan masalah etnis, agama, dan budaya, melainkan mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap toleransi, menghargai keragaman dan perbedaan, menghargai HAM, dan lain-lain.
2.    Munculnya Gejala Diskontinuitas
Dalam pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Hal ini dikarenakan perbedaan latar belakang sosiokultural di masyarakat dan di sekolah sangat berbeda sehingga memungkinkan adanya kesulitan untuk beradaptasi. Peran seluruh unsur pelaku pendidikan diperlukan untuk menjaga kontinuitas ini terkait dengan  menciptakan konsistensi dalam menyediakan situasi yang mendukung proses belajar dan terpeliharanya kontinuitas budaya antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.
3.    Rendahnya Komitmen Berbagai Pihak
Pelaksanaan pendidikan multikultural memerlukan komitmen yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah selain kesamaan pemahaman tentang hal tersebut. Jika seluruh komponennya memahami arah dan tujuan pendidikan multikultural untuk mancapai masyarakat madani maka komitmen untuk melaksanakan pendidikan multikultural akan mudah dicapai.
4.    Kebijakan yang Mengarah pada Keseragaman
Sejak lama kebijakan pendidikan maupun konsep-konsepnya selalu diseragamkan atau bersifat sentralis. Hal ini menyebabkan sulitnya pelaku pendidikan menghargai  perbedaan. Sehingga pelaksanaan pendidikan multikultural sering kali dianggap kurang penting.[8]



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Aly, 2011, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Choirul Mahfud, 2014, Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Iis Arifudin, “Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah,” Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, 12:2, (Purwokerto, Mei-Agustus 2007)





[1] Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) 103-108.

[2] Ibid., hlm. 3.
[3] Ibid., hlm. 100.
[4] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014).,184-191.
[5] Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) 109-124.
[6] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014)., 177-8.17
[7] Ibid., hlm. 191-193
[8] Iis Arifudin, “Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah,” Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, 12:2, (Purwokerto, Mei-Agustus 2007), 5-7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar