Sabtu, 22 April 2017

PROSES TERJADINYA KONFLIK

PROSES TERJADINYA KONFLIK

Makalah
DisusunGunaMemenuhiTugas Mata KuliahManajemenKonflik

Dosen Pengampu :
IdamMustofa, M.Pd.



DisusunOleh:
1.    Iva MiftahulJannah
2.    NofitaDiahAyuPuspitasari

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAMJURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUSSALAM
KREMPYANG TANJUNGANOM NGANJUK
2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT.Yang senantiasa memberikan petunjuk, bimbingandaninayah-Nya, sehingga kami dapatmenyelesaikan tugas makalah yang berjudul“PROSES KONFLIK”.
Sholawat serta salam keharibaan Nabi Muhammad SAW yang menganjurkanumatnyauntukmengajar, belajardanmendengarsertamenekankanbahwamenuntutilmumerupakankewajibanbagisetiapmuslim.
Denganterselesaikannyamakalahini, kami mengucapkanterimakasihkepada :
1.      IdamMustofa, M.P.d ,selakudosenpengampu.
2.      Orang tua kami yang senantiasamemberido’asertadukungankepada kami.
3.      Pihak-pihak lain yang turutmembantuterselesaikannyamakalahini.
Kami menyadaribahwamakalahinimasihjauhdarisempurna.Olehsebabitu, saran dankritik yang bersifatmembangunsangat kami harapkan demi kesempurnaanmakalahini.
                                                                                                    

Krempyang, 24 Januari 2017

Penyusun


DAFTAR ISI




HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang...................................................................................... 1
B.  Rumusan Masalah................................................................................. 1   
C.  Tujuan Pembahasan............................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A.      Asumsimengenaikonflik...................................................................... 2
B.       Kekuasaandanproses konflik............................................................... 4
C.       Model proses konflik........................................................................... 7

BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan............................................................................................ 12
B.Saran...................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA






 BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakteristik yang beragama. Manusia mempunyai perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa, suku, agama, kepercayaan, aliran, politik, serta budaya dan tujuan hidupnya. Manusia tidak dapat bisa lepas dari konflik. Selama masih ada perbedaan yang terjadi konflik tidak dapat dihindari dan selalu akan terjadi.
Konflik selalu terjadi di dunia, dalam sistem sosial yang bernama negara, bangsa, organisasi, perusahaan dan bahkan dalam sistem sosial terkecil yang bernama keluarga dan pertemanan. Konflik terjadi di masa lalu, sekarang dan pasti akan terjadi di masa depan. Dengan demikian manusia selalu dihadapkan pada konflik selama hidupnya, untuk itu kita harus memahami apa itu konflik dan bagaimana langkah-langkah agar dapat terbebas dari konflik tersebut. Makalah ini akan membahas mengenai proses terjadinya konflik.

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah asumsi mengenai konflik ?
2.                  Bagaimana kekuasaan dan proses konflik?
3.                  Apa saja model proses konflik?

C.  Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui asumsi mengenai konflik.
2.      Untuk mengetahui kekuasaan dan proses koflik.
3.      Untuk mengetahui model proses konflik.








BAB II
PEMBAHASAN


A.    Asumsi Mengenai Konflik
Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat.[1]
Asumsi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti budaya, agama, pendidikan, pengalaman menghadapi konflik, dan lain-lain. Secara umum, asumsi orang dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, antara lain:[2]
1.      Konflik Buruk dan Merusak
Banyak orang berpendapat bahwa konflik merupakan sesuatu yang buruk, baik, dan merusak. Stephen P. Robbis (1992) menyebut asumsi sebagai pandangan tradisional (traditional poin of view). Mereka menyatakan konflik sebagai sesuatu yang merusak mengasosiasikan konflik dengan sesusuatu yang negatif, antara lain:[3]
a.       Konflik buruk
b.      Konflik merusak
c.       Konflik sama dengan kekuasaan dan agresi
d.      Konflik emosional dan irasional
e.       Konflik membuang energy dan sumber-sumber energi
f.       Konflik merupakan penyebab stes dan frustasi
g.      Konflik ancaman
2.      Konflik Netral
Konflik merupakan kejadian alami dan fenomena manusia yang tidak bisa dihindari. Manusia memang di ciptakan dengan sifat-sifat yang bertentangan satu sama lain. Manusia mempunyai persepsi dan pendapat yang berbeda mengenai sesuatu yang sama. perbedaan persepsi dan pendapat ini merupakan sumber konflik. konflik tiak bisa di hindari dan terbukti menghasilkan sesuatu yang baik di samping sesuatu yang buruk. Konflik tidak baik dan tidak juga buruk . baik buruknya konflik tergantung bagaimana cara seseorang memanajemeninya. jika di manajemeni dengan baik, konflik akan menghasilkan sesuatu yang baik. Sebaliknya, jika di manajemeni dengan buruk, konflik akan menghasilkan sesuatu yang buruk. Pemimpin dan manajer berasumsi bahwa konflik netral akan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap terjadinya kinflik.[4] Konflik dapat dikatakan sebagai gambaran tentang terjadi perselisihan, ketegangan, dan pertentangan sebagai akibat dari perbedaan yang muncul dalam kehidupan masyarakat, baik perbedaan secara individual maupun perbedaan kelompok.[5]
3.      Konflik Baik dan Diperlukan
Sebagai pemimpin dan menejer menganggap baik dan diperlukan. Konflik di perlukan untuk menciptakan perubahan dan kemajuan. Konflik merupakan proses tesis, antithesis, dan sintesis. Stephen P. Robbins berpendapat konflik yang baik dan membangun sesuatu yang baru akan mengancurkan para pemimpin dan menejer untuk meneruskan konflik yang sedang terjadi – secara minimal- untuk mendorong kreatifitas dan kritik diri. Konflik merupakan proses untuk mengembangkan kreatifitas dan inovasi para anggota tim. Konflik yang terjadi di manajemeni dengan baik dan di arahkan menjadi konflik konstruktiv untuk menciptakan pembelajaran organisasi.[6]
Dari berbagai asumsi mengenai konflik dapat dipahami bahwa kelompok tradisional memandang konflik sebagai pengganggu keselarasan dan keharmonisan  kehidupan. Kelompok lain memandang bahwa konflik adalah suatu yang tidak bisa dihindar dan harus dijalani didalam kehidupan. Di lain pihak ada kelompok yang memandang konflik adalah sangat diperlukan karena konflik digunakan untukk menciptakan kemajuan dan perubahan. Penulis sendiri berpendirian bahwa konflik sangatlah penting disamping konflik sebagai  pembangun sesuatu  yang baru dan akan membuat seseorang mampu untuk pengembangan dirinya.


B.     Kekuasaan dan Proses Konflik
1.    Kekuasaan dan Konflik
Menurut  Wirawan, salah satu tenaga penggerak perubahan peradaban umat manusia adalah kekuasaan atau social power. Tanpa kekuasaan, pemimpin tidak dapat melaksanakan fungsinya. Akan tetapi, penyalahgunaan kekuasaan akan membuat pemimpin dibenci orang karena dapat menyengsarakan umat manusia. Untuk memahami peran kekuasaan dalam konflik, perlu dipahami sifat-sifat kekuasaan, yaitu:[7]
a.       Kekuasaan itu abstrak tidak terlihat. Kekuasaan hanya terlihat pada jabatan, pangkat serta kemampuan untuk membuat sesuatu, menyelesaikan masalah dan mengkomunikasikan sesuatu. Walaupun tidak terlihat, jika digunakan dapat menimbulkan akibat yang menyenangkan atau tidak menyenangkan.
b.      Kekuasaan bukan milik individu, tetapi milik interaksi sosial. Artinya seorang pemimpin atau manajer tidak mempunyai kekuasaan terhadap orang lain yang tidak berinteraksi dengannya.
c.        Kekuasaan bisa diperoleh dan bisa diperbesar atau bertambah jumlahnya, berkurang atau bahkan hilang. Seseorang dapat memperoleh kekuasaan jika dikehendakinya. Dengan mendapatkan suatu jabatan baru, kekuasaan, wewenang atau otoritasnya bertambah.
d.      Kekuasaan netral tidak baik dan tidak juga buruk. Baik buruk kekuasaan tergantung pada pemegang kekuasaan (power helder atau power bewilder)yang menggunakannya.
e.       Pemegang kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri, keluarga, kroni atau teman-temannya.
Kekuasaan itu netral, artinya tidak baik dan tidak juga buruk. Baik buruknya kekuasaan tergantung pada pemegang kekuasaan. Jika kekuasaan berada ditangan kekuasaan yang baik, kekuasaan menjadi baik. Sebaliknya jika kekuasaan berada ditangan kekuasaan yang buruk, kekuasaan menjadi buruk.
Kekuasaan banyak jenisnya dan tergantung pada sumbernya. Dan menurut sumbernya, kekuasaan dapat dikelompokkan menjadi:[8]
a.       Kekuasaan yang sah, otoritas atau wewenang (legitiate power –authority). Seseorang mempunyai wewenang karena dipilih secara sah untuk menduduki suatu jabatan.dengan kekuasaan tersebut, ia mempunyai kewajibann untuk melakukan sesuatu dan mempunyai hak untuk memberi perintah kepada bawahanya.
b.      Kekuasaan imbalan (reward power). Kekuasaan untuk memberikan atau tidak memberikan sesuatu.
c.       Kekuasaan paksa (coercive power). Kekuasaan untuk memaksa penerima kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
d.      Kekuasaan keahlian (expert power). Kekuasaan karena memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang tertentu. Jadi, ia dapat membuat sesuatu atau menyelesaikan sesuatu.
e.       Kekuasaan rujukan (referent power). Kekuasaan karena memiliki keunggulam fisik atau psikologis sehingga orang lain akan menirunya atau menjadi rujukan.
f.       Kekuasaan informasi (information power). Betram Raven dan W. Kruglansk (Wirawan, 2003) mengidentifikasikan jenis kekuasaan ini sebagai kepemilikan informasi yang diperlukan oleh orang lain yang tidak memilikinya.
g.      Kekuasaan koneksi (connection power). Kekuasaan karena mempunyai koneksi dengan orang lain sehingga mempunyai kekuasaan
Kekuasaan mempunyai peranan penting dalam proses terjadinya konflik, gaya manajemen konflik, dan teknik resolusi konflik yang dipilih oleh pihak yang terlibat konflik. Kekuasaan bukan milik individu, tetapi milik interaksi sosial. Artinya, kekuasaan hanya terjadi dalam interaksi sosial.
Dalam situasi konflik tertentu, sering kali orang menggunakan kekuasaan (mata uang) yang tidak mempunyai nilai – tidak laku - bagi lawan konfliknya. Ketidaklakuan tersebut dapat disebabkan lawannya menilai rendah kekuasaan yang digunakannya. Sebagai contoh, dalam konflik politik, pihak yang terlibat konflik selalu menilai rendah kekuasaan yang dimiliki oleh lawan konfliknya. Selain itu, hal yang dapat terjadi adalah pihak yang terlibat konflik hanya menilai kekuasaan berdasarkan persepsinya, tidak berdasarkan identifikasi, bobot dan perhitungan nilai kekuasaan yang sesungguhnya. Atau, bisa juga ia menggunakan kekuasaan yang sudah usang, misalnya, dalam masa reformasi masyarakat tidak menghargai kekuasaan supresi dan kekerasan.
Jadi, peran kekuasaan dalam konflik adalah kemampuan actual atau kemampuan potensial yang dapat digunakan untuk  mempengaruhi orang lain sehingga orang lain tersebut akan bersikap atau bertindak sesuai dngan yang diharapkan atau yang di inginkan.

2.   Dinamika Formasi Kekuasaan dalam Interaksi Konflik
Dalam kaitan dengan kekuasaan, konflik sering disebut sebagai permainan kekuasaan (power play) yang dinamis. Dinamika konflik merupakan hasil dinamika kekuasaan yang dimiliki dan digunakan oleh pihak yang terlibat konflik. Ketika memasuki altar konflik, pihak-pihak yang terlibat konflik mempunyai kuantitas dan kualitas kekuasaan tertentu. Kekuasaan tersebut membentuk formasi kekuasaan tertentu yang saling berhadapan. Apabila A terlibat konflik dengan B, maka kemungkinan terjadi 3 formasi kekuasaan, yaitu :[9]
a.       Kekuasaan A seimbang dengan kekuasaan B (DA = DB)
b.      Kekuasaan A lebih besar daripada kekuasaan B (DA > DB), dan
c.       Kekuasaan B lebih besar daripada kekuasaan A (DB < DA)
Dalam proses selanjutnya, formasi kekuasaan A dan B dapat berubah. Perubahan tersebut terjadi sesuai dengan sifat kekuasaan yang dapat diperoleh, bertambah, berkurang dan hilang. Baik A maupun B selalu berupaya memperbesar kekuasaannya agar jumlahnya lebih besar daripada kekuasaan lawan konfliknya. Baik A maupun B berusaha memperbesar kekuasaanya dengan mencari teman.
Dalam situasi konflik, pihak yang terlibat konflik dapat menyalahgunakan kekuasaannya. Pemegang kekuasaan dapat melampaui kekuasaannya yang digunakan untuk kepentingan dirinya. Sedangkan pihak yang terlibat konflik juga berupaya menurunkan kekuasaanya dengan berbagai taktik, seperti:[10] (1) menuduh bahwa kekuasaannya telah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, (2) merendahkan arti kekuasaan yang dimiliki lawan konflik, (3) menuduh lawan konflik melakukan kebohongan publik, (4) menyatakan bahwa lawan konflik tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugasnya, (5) melakukan ketidakpatuhan publik dan menggerakkan orang lain untuk tidak mematuhinya pula, serta (6) bisa juga, melakukan whistle blowers dengan membeberkan rahasia atau perbuatan yang tidak patut dari lawan kofliknya kepada publik.
Upaya memperbesar kekuasaan diri sendiri dan upaya memperkecil kekuasaan lawan konfliknya (vice versa), dalam interaksi konflik, akan menghasilkan dinamika formasi kekuasaan pihak-pihak yang terlibat konflik. Konflik merupakan proses yang berawal dari adanya sesuatu yang menyebabkan terjadinya konflik, objek konflik, sampai terjadinya solusi. Dengan demikian, formasi kekuasaan dalam interaksi konflik adalah sebagai permainan kekuasaan (power play) yang dinamis. Dinamika konflik merupakan hasil dinamika kekuasaan yang dimiliki dan digunakan oleh pihak yang terlibat konflik.

C.    Model Proses Konflik
Model Proses Konflik Menurut Wirawan[11]
  1. Penyebab konflik
a.       Beda tujuan
b.      Kompetisi akan sumbar yang terbatas
c.       Tugas saling tergantung
d.      Sistem imbalan yang tidak layak
e.       Pelakuan yang tidakk manusiawi
f.       Perbedaan suku, agama dan sebagainya
  1. Fase latin
a.       Penyebeb konflik
b.      Belum
c.       Konflik belum
  1. Fase pemicu
a.       Terjadinya sesuatu yang memicu konflik
b.      Sadar terjadinya konflik
c.       Diferensiansi
d.      Konflik terbuka teradi
e.       Dialog tidak berhasil
  1. Fase eskalasi
a.       Interaksi konflik memanas
b.      Polarisasi
c.       Mulai menggunakan kekuasaan
d.      Memperbesar  kekuasaan, mencari teman
e.       Terjadi spiral konflik
  1. Fase krisis
a.       Peraturan tidak dihormati
b.      Semua kekuasaan digunakan untuk mengalahkan lawan
c.       Terjadi agresi
d.      Menyelamatkan muka
  1. Fase resolusi konflik
a.       Kehabisan eenergi, berhenti, dan tidak mulai lagi
b.      Menyelamatkan muka
c.       Terjadi solusi
  1. Fase pascakonflik
a.       Bisa kembali harmonis atau
b.      Bisa tidak harmonis

Keterangan  dari proses konflik diatas adalah:[12]
1.      Penyebab konflik
Pada fase ini peroses Penyebab konflik,. Sebagai contoh, perbadaan tujuan atau, tujuan sama, tetap terjadi perbedaan mengenai cara untuk mencapai tujuan tersebut. Kelangkaan sumber-sumber daya pun terjadi, seperti anggaran, sumber daya manusia, dan sumber daya alamyang terbatas. Anggota organisasi harus berkompetisi, untuk mendapatkan sumber-sumber tersebu. Dua perusahaan akan melakukan marger sehingga terjadi benturan budaya organisasi-setelah kedua perusahaan marger- yang kemudian menciptakan iklim konflik.
2.      Fase laten atau fase tidak terlihat
Dalam fase laten, penyebab konflik telah ada, perbedaan pendapat telah terjadi, saling berbeda tujuan dan saling melaksanakan tugas yang berbenturan atau saling terkait. Akan tetapi, pihak-pihak yang terlibat konflik diam saja atau belum mengekpresikanya. Masing-masing pihak mungkin belum menyadari terjadinya konflik, masih menahan diri, atau belum menganggap hal tersebut sebagai konflik.
3.      Fase pemicu
Dalam fase ini dalam salah satu pihak dan kedua belah pihak telah mengekpresikan pertentangan mareka. Ekpresi iti merupakan kejadian pemicu, memicu terjadi konflik secara terbuka. Ekpresi pertentangan dalam konflik berupa sikap, perilaku dan dengan menggunakan kata-kata lisan atau tetulis. Pengekpresian ini membuat konlik menjadi terbuka dan menyadarkan masing-masing pihak akan terjadinya konflik. Diaalog mengenai konflik terjadi. Masing-msing pihak mencari asal usul konflik, menentukan posisinya dalam konflik, dan menetukan strategi untuk menghadapi lawan konfliknya.
Suatu hal yang perlu dipahami dalan fase ini adalah terjadinya proses diferensiasi dalam diri pihak-pihak yang terlibat konflik, sebelum terjadinya konflik, pihak-pihak yang terlibat konflik tidak mempunyai perbedaan mengenai objek konflik. Setelah terjadinya kejadian pemicu, mereka menyadari adanya perbedaan diantara mereka. Masing-masing pihak menganalilisin lawan konflik. Kemuadian, mereka membandingkan pssisi lawan konflik dengan posisinya sendiri. Masing pihak menyadari adanya perbedaan serta menyusun strategi dan taktik konflik untuk melakukan interaksi konflik.
4.      Fase eskalasi
Jika fase pemicu konflik tidak terselesaikan, konflik semakin lama akan semakin membesar. Perbedaan pendapat makin menajam sehingga masng-masing pihak yang terlibat konflik akan mengalami frustasi  karena tidak dapat mencapai tujuannya akibat terhalang oleh lawan konfliknya. Masing-masing pihak mengembangkan polarisasi kitamelawan mereka atau saya melawan dia. Konflik pada awalnya merupakan konflik dalam organisasi atau interpersonal. Kemudian, konflik ini berubah menjadi konflik personal diantara individu atau kelompokyang menjadi aktor dalam konflik.
Terjadinya spiral konflik yang semakin lama semakin membesar sehimgga semakin menjauhkan jarak diantara pihak-pihak yang terlibat konflik. Sikap negatif terhadap lawan konflik akan membesar. Masing-masing pihak merasa hanya dirinyalah yang benar dan lawannya yang salah. Kekuasaan mulai digunakan untukmendesak posisi lawannya. Masing-masing pihak berupaya memperbesar kekuasaannya dengan mencari teman serta menafsirkan norma dan peraturan untuk memperkuat posisinya. Konflik berubah dari konflik organisasi menjadi konflik individual diantara dua mukayang terlibat konflik.
5.      Fase krisis
Jika fase eskalasi tidak menghasilkan solusi, konflik meningkat menjadi fase krisis ciri-ciri fase krisis atara lain sebagai berikut: [13]
a.       Konflik membesar dan sering kali melibatkan pihak lainnya yng memihak salah satu pihak yang terlibat konflik. Hal ini terjadi karena pihak-pihak yang terlibat konflik berupaya membesar kekuasaannya dengan mencari teman.
b.      Prilaku pihak yang terlibat konflik tidak terkontrol karena masing-masimg pihak yang terlibat menjadi irasional dan emosional. Kebencian, kemarahan dan dorongan untuk mengalahkan lawan akhirnya menguasai pikiran dan perasaan mereka. Sering kali terjadi sikap “hantam dulu, urusan belakang”.
c.       Norma dan peraturan sudah tidak berlaku karena masing-masing pihak penafsiran norma dan peraturan untuk memperkuat posisinya dalam konflik.
d.      Menyelamatkan muka menjadi strategi utama masing-nasing pihak yang terlibat konflik.
e.       Salah satu pihak yang merasa kuat melakukan agresi. Bentuk agresi bisa berupa verbal, tertulis maupun fisik atau dalam bentuk sabotase- merusak sesuatu berhubungannya dengan lawan konflik. Apabila pihak lawannya juga marasa mempunyai kekuasaan dan kekuatan, maka akan membalasnya dengan agresi.
f.       Pihak yang terlibat konflik berusaha menhancurkan lawannya dan memenangkan konflik dengan kosekuensi apapun.
6.      Fase resolusi konflik
Dalam fase ini mungkin menjadi salah satu feomena antara lain sebagai berikut: [14]
a.       Diantara kedua belah pihak yang telibat konflik, tidak ada pihak yang menang dan tidak ada pihak yang kalah. Keduanya akan kehabisan energi. Konflik akan berhenti sementara dan kemungkinan akan tejadi kembali dikemudian hari.
b.      Terjadi solusi dengan cara mengatur sendiri atau melalui intervensi pihak ketiga.
7.      Fase pasca konflik
Dalam fase ini, bisa terjadi beberapa kemungkinan antara lain sebagai berikut:[15]
1)      Hubungan diantara pihak-pihak yang telibat konflik sedikit demi sedikit kembali normal dan harmoni. Keadaan ini terjadi jika resolusi konflik menghasilkan win dan win sulution sehingga kedua belah pihak merasa puas. Apabila solusi ini diikuti dengan kembalinya saling membutuhkan dan saling percaya, maka hubungan akan menjadi harmonis kembali.
2)      Hubungan diantara pihak yang terlibat konflik tetap renggang. Hal ini terjadi jika salah satu pihak atau kedu belah pihak yang terlibat konflik tidak puas terhadap solusi konflik, walaupun mereka sudah terikat dalam solusi konflik. Sebagai contoh jika keputusan pengadilan memenangkan salah satu pihak, pihak yang dikalahkan merasa tidak puas akan keputusan tersebut. Hal itu lah sebabnya sering kali ketika keputusan pengadilan akan dieksekusi, pihak yang kalah melakukan perlawanan secara fisik tidak mau melakukan keputusan pengadila yang sudah sah atau berkekuatan tetap.

Jadi proses konflik adalah membentuk daur ulang konflik bukan sebagai proses linier, tetapi proses siklus berbentuk kurva. Proses konflik dapat lukisan dalam bentuk kurva dengan subu vertical adalah rendah dan tingginya konflik, sedangkan sumbu horizontal adalah fase konflik.














BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari hasil papar diatas dapat diperole kesimpulan sebagai berikut:
1.   Asumsi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti budaya, agama, pendidikan, pengalaman menghadapi konflik, dll. Secara umum, asumsi orang dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu: konflik buru dan merusak, konflik netral, konflik baik dan diperlukan.
2.   Kekuasaan sangat esensial dalam proses terjadinya konflik, terutama konflik interpersonal. Dalam kaitan dengan kekuasaan, konflik sering disebut sebagai permainan kekuasaan (power play) yang dinamis. Dinamika konflik merupakan hasil dinamika kekuasaan yang dimiliki dan digunakan oleh pihak yang terlibat konflik.
3.   Model proses konflik meliputi: 1) Penyebab Konflik, 2)Fase Laten, 3) Fase Pemicu, 4) Fase Eskalasi, 5) Fase Krisis, 6) Fase Resolusi Konflik, 7) Fase Pascakonflik.

B.     SARAN
Penyebab konflik sangat komplek yang dilatar belakangi oleh berbagai dimensi  dan peristiwa sosial. Konflik merupakan gambaran tentang terjadinya perselisihan, ketegangan atau pertentangan sebagai akibat dari perbedaan yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Manajemen konflik sangat dibutuhkan manusia, karena manusia  tidak bisa menghindari konflik yang terjadi di masyarakat. Dalam makalah ini telah dipaparkan gambaran konflik mulai dari asumsi konflik, kekuasaan dan proses konflik, serta model proses konflik. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca. Namun demikian, hal-hal yang masih perlu diperdalam lagi oleh penulis berikutnya adalah masalah mengenai model proses konflik.







DAFTAR PUSTAKA


Rusdiana. Manajemen Konflik.  Bandung: Pustaka Setia, 2015.
Fattah, Nanang .  Landasan Manajemen. Bandung: Remaja Roda Karya, 1996.
Wirawan. Konflik dan Manajemen Konflik.  Jakarta: Salemba Humanika, 2013.


[1]Nanang Fattah,  Landasan Manajemen (Bandung: Remaja Roda Karya, 1996) , 461.
[2] Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik (Jakarta: Salemba Humanika, 2013),113.
[3] Ibid, 113-114.
[4] Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik 115..
[5] Rusdina, Manajemen Konflik  (Bandung: Pustaka Setia, 2015),149.
[6] Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik 116.
[7] Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik 117-118.
[8] Ibid, 118-119.
[9] Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik, 121.
[10] Ibid,122.
[11] Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik,  123.
[12] Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik, 123-126
[13] Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik, 125.
[14] Ibid, 126.
[15] Ibid, 126.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar